Selasa, 09 Desember 2025

Bug di Otak Kita: 3 Kesalahan Berpikir yang Bikin Hidup Tambah Sulit

Pernah nggak sih, habis beli barang diskon merasa bangga dapat harga murah, tapi ternyata sama aja harganya dengan toko sebelah? Atau pernah marah-marah sama orang yang nggak sepemikiran dengan kita, sambil mikir “kok dia nggak bisa lihat fakta yang jelas ya?”

Selamat! Anda bukan sendiri. Itu namanya bias kognitif – “bug” alami di otak semua manusia.

Apa Sih “Bias Kognitif” Itu?

Bayangkan otak kita seperti processor komputer yang harus memproses jutaan informasi tiap detik. Biar nggak meledak, otak punya shortcut – jalur cepat untuk ambil keputusan. Sayangnya, shortcut ini sering nge-giring kita ke kesalahan.

Bias kognitif BUKAN berarti Anda orang jahat, bodoh, atau punya prasangka rasis. Tapi lebih ke: semua orang mengalaminya, ini adalah kesalahan sistemik dalam cara berpikir, dan yang terpenting – bisa dikurangi kalau kita sadar.

3 “Bug” Otak Paling Sering Nongol

Pertama, ada Bias Konfirmasi. Ini kayak punya “teman yang selalu ngebela kita”, meski kita salah. Rasanya nyaman, tapi bahaya. Contohnya saat kita baca berita cuma dari media yang sesuai politik kita, atau saat debat cuma dengerin argumen yang benerin pendapat kita. Akibatnya, kita dikurung dalam “gelembung pemikiran” sendiri.

Kedua, Efek Jangkar. Ini bikin kita terpaku pada angka pertama yang kita lihat atau dengar. Kayak pas lihat harga Rp 5.000.000 dulu, terus lihat diskon jadi Rp 3.000.000 – langsung merasa “WOW MURAH!” Padahal, belum tentu murah beneran. Sales pinter banget pakai trik ini: kasih harga fantastis dulu, baru kasih “harga khusus untuk Anda”. Akibatnya, keputusan finansial kita seringkali emosional, bukan rasional.

Ketiga, Bias “Sudahlah Terjadi”. Ini bikin kita sok tahu setelah kejadian. Kayak nonton bola sambil teriak “LEWATIN!”, terus setelah pemain lewatin dan gagal – kita bilang “udah tau dari tadi bakal gagal!” Contoh lain, habis gempa langsung nyalahin ilmuwan: “kok nggak bisa prediksi!” Padahal gempa memang susah diprediksi. Akibatnya, kita gampang nyalahin orang dan sulit belajar dari kesalahan.

Cara “Update Software” Otak Kita

Nah, sekarang kita tau masalahnya. Gimana cara memperbaikinya? Nggak usah ribet, mulai dari trik sederhana ini:

Pertama, “Tidur Dulu”. Sebelum putuskan hal besar kayak beli rumah, mutusin hubungan, atau ganti kerja – coba tidur satu malam dulu. Besok pagi, pikiran biasanya lebih jernih.

Kedua, “Tanya 3 Orang yang Berbeda”. Mau beli mobil? Jangan cuma tanya sales. Coba tanya mekanik yang tau masalah mobil itu, teman yang punya mobil serupa 5 tahun, dan orang tua yang mikirin keamanan. Perspektif beda-beda ini bantu kita liat gambaran lengkap.

Ketiga, “Bayangkan Kegagalan Dulu”. Sebelum mulai usaha, bisnis, atau proyek, ajak tim diskusi: “Bayangkan satu tahun lagi kita GAGAL total. Menurut kalian, apa tiga penyebab utamanya?” Banyak banget masalah yang ketahuan dari sini sebelum benar-benar terjadi.

Keempat, “Cek Harga 3 Tempat”. Mau beli apa pun, biasakan cek harga di tiga tempat berbeda. Otak kita langsung bisa bandingin mana yang beneran murah, mana yang cuma “rasa” murah karena diskon gede.

Kelima, “Apa Nasihat untuk Teman?”. Saat bingung mau putuskan sesuatu, tanya diri sendiri: “Kalau teman baikku ada di posisi ini, apa nasihatku untuk dia?” Tiba-tiba kita jadi lebih objektif karena nggak terbebani emosi pribadi.

Mulai dari Mana?

Gak usah langsung mau perbaiki semua sekaligus. Besok pagi, coba satu hal kecil dulu: Saat baca berita kontroversial, cari satu argumen dari sisi yang berlawanan. Dengarkan sampai selesai. Nggak harus setuju, tapi coba pahami.

Atau saat mau beli sesuatu karena “diskon gede”, tanya diri: “Kalau nggak ada tulisan ‘diskon’, apa aku masih mau beli dengan harga ini?”

Yang Paling Penting

Bias kognitif itu kayak bayangan – selalu ada, tapi kalau kita nyalain lampu (kesadaran), kita bisa lihat dan menghindarinya. Kita nggak bisa hilangkan 100% “bug” ini – kita manusia, bukan robot. Tapi dengan sadar dan pakai trik sederhana, kita bisa kurangi kerusakan yang ditimbulkannya.

Hidup sudah cukup sulit. Jangan biarkan “bug” di otak kita bikin makin ruwet.

Artikel ini terinspirasi dari kursus Kevin de Laplante tentang bias kognitif.


 

Minggu, 30 November 2025

Jangan Lupa Jadi Manusia

Ada nasihat sederhana yang sering kali perlu kita ulang-ulang untuk diri sendiri: jangan lupa jadi manusia.  

Kita hidup di zaman yang berubah begitu cepat. Sepuluh tahun lalu, bahkan dua puluh, lima puluh, atau seratus tahun lalu, cara orang berpikir, bekerja, berinteraksi, membangun karier, berkonflik, dan menjaga eksistensi diri jelas berbeda dengan hari ini. Dan perubahan itu akan terus bergulir, semakin cepat di tahun-tahun mendatang.  

Pekerjaan hilang, pekerjaan baru muncul. Alat bantu kehidupan dan produktivitas berkembang tanpa henti. Seorang teman pernah menunjukkan koleksi kaset masa sekolahnya—sekitar dua puluh tahun lalu. Teknologi itu kini terasa begitu jauh tertinggal, digantikan oleh dunia digital yang serba instan.  

Namun, ada satu hal yang tidak berubah: kita tetap manusia.  
Manusia dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Manusia dengan karakter yang unik, dengan akal, hati, dan pikiran yang dikaruniakan Sang Pencipta. Kita tetap butuh makan, minum, dan kebutuhan non-fisik: mental, spiritual, kasih sayang, serta kebersamaan.  

Menyadari Ke-Manusia-an
“Jangan lupa jadi manusia” berarti mengingat kembali hakikat kita. Kita bukan robot, bukan mesin, bukan sekadar algoritma. Kita adalah makhluk hidup dengan jiwa, hati, keinginan, amarah, ingatan, harapan, perasaan, dan kasih sayang. Kita punya nama, punya cerita, punya masalah, kelebihan, sekaligus kekurangan. Dan justru kekurangan itulah yang membuat kita manusia.  

Saya teringat sebuah ilustrasi: seseorang memegang handphone, digambarkan seolah dunia ada dalam genggamannya. Namun kenyataannya, dialah yang terikat rantai oleh handphone itu. Simbol yang masih relevan hingga kini—betapa teknologi bisa menguasai kita, bukan sebaliknya.  

Kembali ke Hal-Hal Manusiawi
Mari kita lebih banyak berkomunikasi, menyapa, menanyakan kabar, menerima permintaan maaf, membantu yang membutuhkan, mendengar celotehan, bersabar dengan kemarahan, menikmati perbedaan sifat, dan melakukan hal-hal manusiawi lainnya.  

Karena pada akhirnya, menjaga ke-manusia-an kita adalah bagian dari menjaga hubungan dengan Allah.  

> وَلَا تَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ نَسُوا اللّٰهَ فَاَنْسٰىهُمْ اَنْفُسَهُمْۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْفٰسِقُوْنَ  
> “Janganlah kamu seperti orang-orang yang melupakan Allah sehingga Dia menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik.” (QS Al-Hasyr: 19)  

Mari kita jaga diri, agar tidak lupa dengan ke-manusia-an kita.  

Rabu, 26 November 2025

Ikhwanul Muslimin, Kemerdekaan Indonesia, dan Kemunafikan Label “Teroris” dari Amerika Serikat

Jejak Solidaritas Ikhwanul Muslimin
Ikhwanul Muslimin (IM) lahir di Mesir pada 1928, didirikan oleh Hassan al‑Banna sebagai gerakan sosial‑keagamaan yang menentang kolonialisme. Sejak awal, IM tidak hanya berfokus pada Mesir, tetapi juga menunjukkan solidaritas lintas bangsa. Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, dukungan dari dunia Islam menjadi salah satu faktor penting dalam memperkuat posisi diplomasi Republik yang masih muda.  

Mesir adalah negara pertama yang secara resmi mengakui kemerdekaan Indonesia pada 1947. Dukungan ini tidak lepas dari pengaruh tokoh‑tokoh Ikhwanul Muslimin yang mendorong opini publik dan pemerintah Mesir untuk berdiri bersama bangsa Indonesia. Demonstrasi, tekanan politik, dan simpati rakyat Mesir—yang banyak diorganisir oleh jaringan IM—membantu membuka jalan bagi pengakuan internasional terhadap Republik Indonesia.

Solidaritas Anti‑Kolonial
IM juga dikenal sebagai gerakan yang mendukung perjuangan bangsa‑bangsa lain melawan penjajahan. Dari Palestina hingga Aljazair, dari Asia hingga Afrika, semangat anti‑imperialisme menjadi bagian dari identitas gerakan ini. Dukungan moral, ideologis, dan kadang praktis diberikan untuk memperkuat tekad bangsa‑bangsa yang ingin merdeka dari cengkeraman kolonial Barat.

Labelisasi “Teroris” dan Kemunafikan Politik
Ironisnya, di abad ke‑21, Amerika Serikat justru berusaha melabeli Ikhwanul Muslimin sebagai organisasi teroris internasional. Pada November 2025, Presiden Donald Trump menandatangani perintah eksekutif untuk meninjau kemungkinan penetapan cabang‑cabang IM sebagai Foreign Terrorist Organization. Langkah ini mengikuti jejak beberapa negara Teluk dan Mesir yang sudah lebih dulu melarang IM.  

Namun, banyak pengamat menilai kebijakan ini sarat kepentingan politik, bukan semata bukti keterlibatan langsung dalam aksi teror. Ikhwanul Muslimin memiliki cabang yang beragam: ada yang fokus pada pendidikan, sosial, dan dakwah, ada pula yang lebih politis. Menyamaratakan seluruh jaringan dengan label “teroris” jelas mengabaikan sejarah panjang IM sebagai gerakan sosial dan anti‑kolonial.

Di sinilah letak kemunafikan Amerika Serikat: bangsa yang lahir dari perjuangan melawan kolonialisme justru melabeli gerakan yang pernah mendukung kemerdekaan bangsa lain sebagai teroris. Padahal, ketika Indonesia berjuang melawan Belanda, dukungan IM dan rakyat Mesir menjadi bagian dari legitimasi internasional yang sangat berharga.  

Refleksi untuk Indonesia
Tulisan ini bukan sekadar nostalgia sejarah, melainkan pengingat bahwa labelisasi politik sering kali digunakan untuk melemahkan gerakan yang dianggap mengancam kepentingan global Barat. Indonesia, yang pernah merasakan manfaat solidaritas Ikhwanul Muslimin, seharusnya kritis terhadap narasi besar yang datang dari luar.  

Kemerdekaan kita tidak hanya hasil perjuangan di medan perang dan diplomasi, tetapi juga buah solidaritas dunia Islam. Menyebut IM sebagai “teroris” tanpa melihat sejarah dukungan mereka terhadap bangsa‑bangsa tertindas adalah bentuk penghapusan memori kolektif perjuangan anti‑kolonial.

Penutup
Ikhwanul Muslimin adalah bagian dari sejarah solidaritas global yang ikut menguatkan kemerdekaan Indonesia. Label “teroris” dari Amerika Serikat mencerminkan standar ganda: ketika gerakan Islam menentang kolonialisme, mereka dipuji; ketika menentang dominasi politik modern, mereka dicap berbahaya. Sejarah mengajarkan kita untuk tidak mudah menerima narasi besar tanpa melihat konteks dan kepentingan di baliknya.

Minggu, 23 November 2025

Menguak Misteri Syaikh Siti Jenar: Antara Sufisme, Kontroversi, dan Akar Spiritualitas Jawa

Siapa yang tidak mengenal nama Syaikh Siti Jenar? Dalam sejarah penyebaran Islam di Pulau Jawa, namanya sering kali muncul sebagai sosok antitesis dari Wali Songo. Ia kerap digambarkan sebagai wali "pembangkang", pemilik ajaran sesat, hingga mitos aneh bahwa ia berasal dari cacing.
Namun, benarkah demikian? Berdasarkan penelusuran sejarah yang lebih mendalam, seperti yang diungkap dalam buku Atlas Walisongo karya Agus Sunyoto, sosok yang juga dikenal sebagai Syaikh Lemah Abang ini memiliki latar belakang dan ajaran yang jauh lebih kompleks dan filosofis daripada sekadar cerita rakyat.
Mari kita telusuri kembali siapa sebenarnya Syaikh Siti Jenar dan mengapa ajarannya begitu membekas dalam batin masyarakat Jawa hingga hari ini.

1. Bukan Cacing, Melainkan Keturunan Bangsawan
Lupakan mitos bahwa ia berasal dari cacing. Syaikh Siti Jenar memiliki nama asli Syaikh Datuk Abdul Jalil. Ia dilahirkan di Malaka dan merupakan putra dari Syaikh Datuk Shaleh. Jika dirunut ke atas, silsilahnya bersambung hingga Rasulullah Saw. melalui jalur Fatimah dan Ali bin Abi Thalib.
Ia bukan orang asing bagi para Wali. Syaikh Siti Jenar adalah saudara sepupu dari Syaikh Datuk Kahfi (Syaikh Nurul Jati), guru dari Pangeran Cakrabuwana di Cirebon. Bahkan, beberapa sumber historiografi menyebutkan bahwa ia sebenarnya adalah anggota Wali Songo itu sendiri sebelum akhirnya dihukum mati.

2. Manunggaling Kawula-Gusti: Ajaran Cinta yang "Berbahaya"
Inti ajaran Syaikh Siti Jenar adalah Sasahidan atau yang lebih populer dikenal sebagai Manunggaling Kawula-Gusti (penyatuan hamba dengan Tuhan).
Dalam pandangannya, alam semesta ini diciptakan dari Dzat Allah. Oleh karena itu, segala sesuatu pada hakikatnya adalah Tuhan. Ia memandang kehidupan dunia ini fana, bahkan menyebut hidup di dunia sebagai "kematian", sedangkan kematian fisik adalah awal dari kehidupan sejati yang abadi.
Mengapa ajaran ini menjadi masalah?
Berbeda dengan wali lain yang mengajarkan makrifat (ilmu ketuhanan tingkat tinggi) secara tertutup kepada murid terpilih, Syaikh Siti Jenar mengajarkannya secara vulgar dan terbuka kepada masyarakat awam. Kalimat seperti "Iya ingsun iki Allah" (Aku ini Allah)—yang merujuk pada kesatuan wujud—dianggap dapat menyesatkan orang yang belum cukup ilmunya dan mengguncang tatanan syariat yang sedang dibangun Kesultanan Demak.

3. Eksekusi di Masjid Sang Cipta Rasa
Puncak konflik antara Syaikh Siti Jenar dan Dewan Wali Songo berakhir tragis. Dianggap membahayakan akidah umat dan stabilitas negara Demak, ia dijatuhi hukuman mati.
Eksekusi dilakukan di Masjid Sang Cipta Rasa, Cirebon, pada tahun 1505 M. Sunan Kudus bertindak sebagai eksekutor menggunakan keris pusaka Kantanaga milik Sunan Gunung Jati.
Sejarah kemudian mencatat berbagai versi tentang kematiannya, termasuk cerita mayatnya yang berubah menjadi anjing. Namun, Atlas Walisongo mencatat bahwa cerita-cerita tersebut kemungkinan besar adalah upaya politis untuk mendiskreditkan pengaruh ajarannya di mata masyarakat. Jenazahnya dimakamkan secara layak di mandala Anggaraksa, Cirebon.

4. Warisan dalam Kejawen Modern
Meskipun raganya mati, ajarannya tidak pernah benar-benar hilang. Justru, ajaran Syaikh Siti Jenar berakulturasi dengan kuat ke dalam budaya Jawa.
Murid-muridnya, seperti Ki Ageng Pengging dan Ki Lebe Lontang, serta penerus spiritual seperti Sunan Kalijaga (melalui Tarekat Akmaliyah), melestarikan esensi ajaran ini. Pertemuan antara sufisme Siti Jenar dengan tradisi lokal (Kapitayan dan Hindu-Buddha) inilah yang kemudian menjadi fondasi spiritualitas atau Kejawen yang kita kenal sekarang.
Konsep bahwa Tuhan tidak jauh di langit, melainkan "lebih dekat dari urat leher" dan menyatu dalam diri, masih menjadi pegangan banyak penghayat kepercayaan di Nusantara.

Syaikh Siti Jenar mengajarkan kita bahwa pencarian Tuhan adalah perjalanan ke dalam diri yang paling sunyi. Terlepas dari kontroversinya, ia tetaplah bagian tak terpisahkan dari sejarah Islam di Nusantara—sebuah bukti betapa dinamisnya dialektika agama dan budaya di Tanah Jawa.

Rabu, 29 Oktober 2025

Pramuka: Warisan Nilai, Pilar Masa Depan

Di tengah derasnya arus digitalisasi dan perubahan sosial, ada satu gerakan yang tetap relevan, membumi, dan penuh makna: Gerakan Pramuka. Lebih dari sekadar seragam cokelat dan barisan upacara, Pramuka adalah ruang pembentukan karakter, kepemimpinan, dan cinta tanah air yang tak lekang oleh waktu.

Gerakan Pramuka Indonesia lahir secara resmi pada 14 Agustus 1961, namun akarnya jauh lebih dalam. Ia berakar dari gerakan kepanduan dunia yang dipelopori oleh Lord Baden-Powell di Inggris pada awal abad ke-20. Di Indonesia, semangat kepanduan telah tumbuh sejak masa pergerakan nasional, menjadi wadah pembinaan generasi muda yang cinta bangsa dan siap berbakti. Presiden Soekarno menyatukan berbagai organisasi kepanduan menjadi satu gerakan nasional: Gerakan Pramuka. Sejak saat itu, Pramuka menjadi bagian integral dari pendidikan karakter di Indonesia.

Mengapa Pramuka tetap penting di era sekarang? Karena ia menjawab kebutuhan mendasar anak-anak dan remaja: menjadi pribadi tangguh, peduli, dan mandiri. Anak belajar disiplin, tanggung jawab, dan kepemimpinan melalui kegiatan nyata, bukan sekadar teori. Dari mendirikan tenda hingga menolong sesama, Pramuka melatih keterampilan praktis yang berguna seumur hidup. Dalam regu, anak belajar bekerja sama, menghargai perbedaan, dan membangun solidaritas. Kegiatan di alam terbuka menumbuhkan kecintaan pada lingkungan dan kesadaran akan pentingnya menjaga bumi. Di tengah dominasi gadget, Pramuka menawarkan ruang interaksi nyata yang sehat dan membangun.

Bagi sekolah, khususnya sekolah swasta yang ingin membentuk lulusan berkarakter unggul, bergabung dalam Gerakan Pramuka bukan sekadar pilihan, tapi kebutuhan strategis. Pramuka secara langsung mendukung penguatan nilai-nilai Pancasila, gotong royong, dan kemandirian dalam Kurikulum Merdeka. Sekolah yang aktif dalam Pramuka menunjukkan komitmen pada pendidikan karakter dan kepemimpinan, nilai tambah di mata orang tua dan masyarakat. Melalui kegiatan Pramuka, sekolah terhubung dengan komunitas lokal, nasional, bahkan internasional. Pramuka menjadikan nilai-nilai dalam kurikulum sebagai pengalaman nyata, bukan sekadar hafalan. Anak-anak yang dibina dalam Pramuka tumbuh menjadi warga yang peduli, tangguh, dan siap berkontribusi.

Gerakan Pramuka bukan milik masa lalu. Ia adalah jembatan menuju masa depan yang lebih berkarakter, lebih tangguh, dan lebih bersatu. Mari jadikan sekolah kita bukan hanya tempat belajar, tapi tempat tumbuhnya pemimpin masa depan—melalui Pramuka.

Minggu, 19 Oktober 2025

Refleksi Seorang Pendidik

Di sekolah, kami percaya: tidak ada anak nakal. Yang ada, orang tua dan guru yang belum tahu cara mendidik dengan tepat.

Setiap hari kami menyambut anak-anak TK yang datang dengan wajah ceria. Ada yang aktif, pendiam, penuh rasa ingin tahu, atau sangat peduli pada temannya. Semua berbeda, tergantung pola asuh di rumah.

Anak-anak adalah cermin. Mereka meniru apa yang mereka lihat dan dengar. Di sekolah maupun di rumah, mereka merekam segalanya—termasuk adab dan sikap kita. Maka guru dan orang tua harus berhati-hati, karena anak-anak belajar dari contoh, bukan hanya dari kata-kata.

Kami berusaha menanamkan adab sejak dini. Di TK, anak-anak mengucapkan janji setiap pagi: “Guru dipatuhi, orang tua dihormati.” Karena guru bukan sekadar pengajar, tapi teladan.

Sayangnya, seiring bertambah usia, rasa ingin tahu anak-anak mulai hilang. Bukan karena mereka sudah tahu jawabannya, tapi karena tak ada yang bisa menjawab, atau mereka tak lagi merasa aman untuk bertanya. Di pengajian, di kuliah, pertanyaan makin sedikit. Padahal dulu, pertanyaan mereka luar biasa.

Pendidikan bukan hanya soal ilmu, tapi juga adab. Guru harus belajar sebelum mengajar, dan memperbaiki diri sebelum menuntut murid berubah. Karena anak-anak adalah mesin fotokopi super canggih—mereka meniru semua yang kita lakukan.

Setiap fase usia anak butuh pendekatan berbeda. SD adalah masa tanam nilai. SMP adalah masa diskusi. SMA adalah masa kemandirian dan pencarian identitas. Jika kita salah mendidik di awal, dampaknya bisa panjang.

Berita viral tentang perilaku anak SMA bukan hal sepele. Itu tamparan bagi dunia pendidikan. Kita perlu introspeksi: sudah benarkah cara kita mendidik? Sudahkah guru, orang tua, dan sistem pendidikan berjalan searah?

Dan ketika kita melihat para santri yang syahid dalam keadaan sholat dan puasa, kita tahu: pendidikan yang benar akan membentuk jiwa yang kuat. Bahkan dalam sakit dan reruntuhan, mereka tetap menjaga sholat dan membaca Al-Mulk. Itu buah dari pendidikan yang benar.

Mari kita renungkan kembali: tujuan pendidikan nasional adalah membentuk manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, sehat, cakap, kreatif, mandiri, dan bertanggung jawab. Sudahkah kita menuju ke sana?

Jumat, 17 Oktober 2025

Pesantren, Media, dan Tantangan Zaman

Sebagai seorang Muslim Indonesia yang mencintai nilai-nilai keadaban dan kebangsaan, saya merasa perlu menyampaikan kegelisahan sekaligus harapan atas polemik yang baru-baru ini mencuat—yakni tayangan program Xpose Uncensored di Trans7 yang menyinggung kehidupan santri dan kiai di Pondok Pesantren Lirboyo.

Dalam tayangan tersebut, narasi yang menyebut santri “rela ngesot” untuk memberikan amplop kepada kiai dianggap merendahkan martabat pesantren dan menampilkan relasi santri-kiai secara tidak proporsional. Tak heran jika banyak pihak, termasuk tokoh-tokoh agama, mengecam isi tayangan tersebut dan menyerukan evaluasi mendalam terhadap etika media.

Namun di balik kontroversi ini, saya justru melihat peluang untuk refleksi bersama. Bahwa pesantren, sebagai institusi pendidikan Islam yang telah berjasa besar dalam mencerdaskan umat dan menjaga moral bangsa, juga perlu terus berbenah. Bukan dalam arti meninggalkan tradisi, tetapi menyegarkan cara pandang dan pendekatan agar lebih terbuka, partisipatif, dan relevan dengan tantangan zaman.

Kritik, jika disampaikan dengan cara yang santun dan membangun, bisa menjadi bahan muhasabah. Tapi media juga punya tanggung jawab moral untuk tidak menyederhanakan atau menstigmatisasi tradisi yang kompleks. Kita butuh narasi yang adil, bukan sensasional.

Saya percaya banyak pesantren hari ini yang sudah mulai membuka diri terhadap transformasi. Mereka mengintegrasikan literasi digital, kepemimpinan sosial, bahkan pendidikan kewargaan dalam kurikulum mereka. Ini adalah langkah penting agar pesantren tetap menjadi ruang tumbuhnya generasi yang beriman, berilmu, dan berdaya.

Mari kita jaga keteduhan ruang publik. Jangan sampai perbedaan persepsi justru memperlebar jurang. Media, pesantren, dan masyarakat luas harus saling menguatkan demi masa depan bangsa yang lebih cerdas dan beradab.