1. Paradox
Efisiensi: Pemerintah gencar
melakukan efisiensi besar-besaran dalam APBN dengan dalih menghilangkan 'lemak'
atau biaya yang tidak perlu. Namun, di sisi lain, struktur kabinet, lembaga,
dan instansi pemerintahan justru 'gemuk' dan tidak efisien. Hal ini menunjukkan
inkonsistensi dan paradoks dalam kebijakan pemerintah.
2. Prioritas
Ngawur: Pemerintah terkesan
memaksakan program makan bergizi gratis (MBG) untuk memenuhi janji kampanye,
meskipun dihadapkan dengan deadline bayar hutang dan defisit anggaran.
Efisiensi anggaran seharusnya dialihkan ke program yang lebih urgent dan
produktif, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.
3. Kebijakan
Rusuh: Komunikasi publik yang
buruk dan miskomunikasi dari pemerintah menyebabkan kericuhan di masyarakat.
Contohnya, dalam kasus perubahan sistem rantai pasok gas LPG 3 Kg, pemerintah
terkesan terburu-buru dan tidak melakukan sosialisasi yang memadai, sehingga
menyebabkan kelangkaan dan antrean panjang.
4. Pendidikan
Nihil: Meskipun anggaran
pendidikan yang berkaitan dengan UKT dan beasiswa tidak dipangkas, namun
kebijakan efisiensi berpotensi mempengaruhi banyak aspek lainnya. Program MBKM
seperti IISMA dan MSIB terancam dihentikan, dan pengadaan program kerja
organisasi kemahasiswaan juga akan semakin sulit. Hal ini menunjukkan bahwa
pendidikan tidak menjadi prioritas utama pemerintah.
5. Susah LOKER: Maraknya tagar #KaburAjaDulu menunjukkan
sulitnya mencari lapangan kerja di Indonesia. Alih-alih memberikan solusi dan
menciptakan lapangan kerja, pemerintah justru bereaksi negatif dan terkesan
menyalahkan masyarakat yang mencari pekerjaan di luar negeri.
6. Problematik
MBG: Program MBG, meskipun
bertujuan baik, namun perlu dikaji lebih dalam, dilakukan secara bertahap, dan
terus dievaluasi. Program ini seharusnya tidak menghambat program utama
pendidikan. Pemerintah perlu memprioritaskan peningkatan kualitas pendidikan,
seperti menambah kuota beasiswa, merenovasi sekolah tak layak, menambah
buku-buku terbaru di perpustakaan, meningkatkan kesejahteraan guru, dan
mengevaluasi sistem zonasi, UN, serta riset dan penelitian di Dikti.
7. No Viral - No
Justice: Aspek penegakan hukum
akhir-akhir ini seringkali dikalahkan oleh viral di media sosial. Kasus-kasus
korupsi, penyalahgunaan wewenang, dan kekerasan oleh aparat seringkali baru
ditindaklanjuti setelah viral di media sosial. Hal ini menunjukkan lemahnya penegakan
hukum dan keadilan di Indonesia.
Kejanggalan-kejanggalan
ini menunjukkan bahwa Indonesia masih jauh dari cita-cita menjadi negara maju.
Diperlukan perubahan mendasar, komitmen yang kuat, dan kepemimpinan yang
visioner dari pemerintah untuk mengatasi masalah-masalah ini dan mewujudkan Indonesia
Emas 2045. Selain itu, partisipasi aktif dan kritis dari seluruh elemen
masyarakat juga sangat penting untuk mengawal jalannya pemerintahan dan
memastikan bahwa kebijakan-kebijakan yang diambil benar-benar berpihak pada
kepentingan rakyat.