Pendidikan tidak pernah netral. Ia bisa menjadi alat pembebasan sekaligus instrumen penindasan, tergantung bagaimana ia diterapkan. Paulo Freire, seorang pemikir pendidikan progresif, menekankan bahwa ruang belajar adalah ruang politik—tempat ide dan kekuasaan bertemu serta membentuk kesadaran.
Dalam konsep *banking education*, Freire mengkritik sistem pendidikan konvensional yang hanya mengisi siswa dengan informasi tanpa memberi mereka ruang untuk berpikir kritis. Siswa diperlakukan sebagai wadah kosong, tanpa dorongan untuk memahami realitas sosial mereka. Akibatnya, mereka cenderung pasif dalam menerima informasi tanpa keberanian untuk mempertanyakan ketidakadilan yang ada di masyarakat.
Sebagai alternatif, Freire mengusulkan *pedagogy of the oppressed*, yaitu pendidikan yang bersifat dialogis dan memberdayakan. Siswa diajak untuk berdiskusi, mengkritisi keadaan sosial mereka, dan secara aktif mencari solusi bagi masalah yang mereka hadapi. Kesadaran kritis ini menjadi langkah awal menuju perubahan sosial yang lebih besar.
Dalam konteks Indonesia, pendekatan ini dapat diterapkan melalui metode pembelajaran yang lebih interaktif, berbasis diskusi, dan mendorong siswa untuk memahami permasalahan nyata di lingkungan mereka. Pendidikan yang membebaskan harus memberi ruang bagi kreativitas, refleksi, dan aksi nyata—sehingga siswa bukan hanya menerima ilmu, tetapi juga menjadi agen perubahan.
Pendidikan yang berpihak pada pembebasan adalah pendidikan yang memberi siswa keberanian untuk bermimpi, berpikir kritis, dan bertindak untuk menciptakan masa depan yang lebih adil. Maka, tugas kita sebagai pendidik bukan hanya mentransfer ilmu, tetapi juga menanamkan kesadaran yang akan menggerakkan perubahan.
Bagaimana menurutmu? Apakah konsep ini dapat diterapkan dalam pembelajaran di sekolahmu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar