Air bah melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Bukan hanya rumah dan jalan yang tenggelam, tapi juga kepercayaan publik terhadap sistem penanganan bencana.
Di tengah lumpur dan kabut, muncul satu pertanyaan besar: Mengapa bencana sebesar ini belum ditetapkan sebagai Bencana Nasional?
Beberapa pihak dan warga mulai bersuara. Ada yang menyebut alasan logis: jika status nasional ditetapkan, negara lain akan berbondong-bondong memberi bantuan. Dan ketika bantuan datang, mereka juga akan menelusuri penyebabnya. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang membuat bencana ini begitu parah?
Di sinilah muncul kekhawatiran: Deforestasi. Alih fungsi lahan.
Dan praktik-praktik yang selama ini tersembunyi di balik rapatnya hutan Indonesia. Baru 1,5 juta hektare yang terdeteksi. Belum termasuk yang belum terungkap.
Satu konten menyebut: “Bencana ini terjadi akibat keserakahan manusia. Besar kemungkinan tidak akan jadi bencana nasional karena mereka takut kedoknya terbongkar oleh negara luar.”
Ironisnya, Malaysia sudah mulai menyalurkan bantuan obat-obatan ke Aceh. Jepang, Kanada, dan Australia menyusul. Sementara pemerintah kita belum menetapkan status nasional.
Negara lain justru menyebutnya sebagai bencana internasional.
Ini bukan sekadar soal status.
Ini tentang transparansi, tanggung jawab, dan keberanian untuk membuka tabir yang selama ini ditutup rapat.
Karena di balik setiap banjir, ada cerita yang lebih dalam dari sekadar hujan.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar