Selasa, 12 April 2011
Beyond Diapers Changing (To the Husband and Father)
(Sebuah cerita dari senior saya yang sekarang sedang menemani istrinya kuliah S2 di Prancis)
Masih ingat nggak malam-malam sepulang kerja dan rumah seperti kapal pecah, berantakan dan kotor. Berharap bisa “meluruskan punggung”, tapi ternyata anak-anak malah belum tidur dan merengek minta ini dan itu, termasuk digendong, diangkat sampe mencapai langit-langit rumah. Berkeinginan ada setidaknya secangkir teh hangat dengan madu dan sedikit lemon would be perfect. Kadang terbit khayalan di rumah istri sudah dandan poll dan menyiapkan air hanget untuk mandi dan message oil beraroma terapi dan siap memijat badan yang pegel-pegel sepulang kerja. Mendamba a decent food untuk mengisi perut yang kosong karena saking sibuknya ndak sempat makan di kantor. Atau sesederhana sang istri bertanya “how was your day?”, “have you got dinner?”. Atau…..punya ekspektasi untuk begitu pulang bisa penuh konsentrasi dengan baju rumahan yang lebih nyaman bisa segera menghadap laptop menyelesaikan kerjaan yang deadline besok pagi, jadi semua akan mahfum jika kita akan khusuk di meja kerja, ruang baca atau apapun yang jadi “gua sakral“ sang penopang keluarga.
Kadang kita, laki-laki, apalagi yang punya istri full sebagai ibu rumah tangga, berfikir (kasarnya) “Hellooo….gw udah capek kerja di kantor…kok di rumah ndak bisa nyantai-nyantai sich…. Nggak tahu apa capeknya kerja, tekanan deadline, harapan bos, kejamnya office politics, and not to mention performance appraisal yang kudu nentuin bonus.” Toch itu semua khan buat keluarga. Istri dan anak-anak…buat mastiin kredit rumah dan mobil bulan ini terbayar dan bisa nyekolahin anak di sekolahan yang katanya bagus dengan biaya pendaftaran bisa beli dua motor keluaran terbaru dan liburan ke tempat-tempat eksotik. Dan sang istri khan “cuma” ngurusin satu dua atau hitungan jari anak lainnya. “Why can’t I please get a bit of the so called support?” “Didn’t I deserve it after what I did out there in the office?” And didn’t she know that the world is so much tiring out there?
Kebanyakan kita, para suami dan ayah, berfikir it is just easy to be a woman-in-charged at home untuk istri kita. And yes… isn’t it part of their nature installed as they give a birth to a child or even worse isn’t it something natural in their gene? Hehehe.. They are borned to be those who handle all those things at home and yet have to be very representable to be introduced as our wife to our respective colleagues. Kedengarannya selfish, sangat patriarki, non-feminis atau disebut apalah, tapi memang disebagian kita sering muncul fikiran seperti itu….. terlintas…..dibisikkan setan ataupun merupakan kepercayaan umum di masyarakat kita.
Saya mendapatkan previllage oleh Allah untuk merasakan sebagai person-in-charged di rumah and how hard it is to handle things at home. I have to admit, this is the very most harderst work I have ever took. Sederhananya, sebulan pertama, saya selalu KO tepat jam 6 sore, kadang tanpa sempat menyentuh makam malam. Badan sampai ndak bisa bergerak seperti habis “training session” weight lifting club dulu waktu mahasiswa di Melbourne. Nyaris ndak bergerak sama sekali hingga subuh keesokan paginya. Padahal waktu itu Wawa masih sekolah, jadi dari jam 8.30-4.30, nyaris hanya butuh menjaga Qiyya yang berusia 1 tahun 3 bulan. Secara fisik, cuapek poll…mulai nyiapin dan makein baju wawa sekolah, sarapan pagi bocah-bocah, antar jemput ke sekolah (untungnya disini bapak2 antar jemput sekolah adalah pandangan yang biasa, jadi ndak kudu merasa aneh laki sendirian di tengah omak-omak Prancis ;)), bersih ini dan itu, pengen masak enak (walaupun anak dan istri ndak pernah mensyaratkan rasa tertentu, di kamus mereka hanya ada 2 kategori: enak dan enak sekali, Alhamdulillah), rutinitas masukin baju ke mesin cuci, jemur, angkat, belanja harian ke marche, nyiapin dan kadang nyuapin makan siang Qiyya. Semuanya kedengaran biasa dan simple, tapi melakoninya..sungguh mendingan nyetir seharian sampai malam dari Bogor keliling Jakarta ngurusin semuanya tetek bengek beasiswa sebelum keberangkatan atau ngajar seharian penuh, plus naek kereta ke salemba ngejar ngajar extension.
Secara mental…ini yang berat banget… I mean kerjaan ini ndak ada yang bakal ngelihat performance, tampil di publik atau at least dihadapan mahasiswa, jadi kelurusan niat dan keihklasan jadi tameng yang paling kena serang. Tapi yang paling berat adalah berhadapan dengan anak-anak yang ndak selalu mereka manis dan manut. They simply sometimes just being unique. But you sometimes found that they are challanging you, testing you. Nangis ndak mau sekolah, pipis dan pupup dimana aja dan sesuka kapannya, numpahin A, B atau C ke pakaian terbaik kamu, atau menghancurkan mainan yang dulu adalah mainan idamanmu waktu kecilmu tapi ndak pernah kamu miliki dan membelinya dengan nabung dulu, ndak mau ndengarin kata, perintah, saran, nasehat ayahnya (come on hey…they are just kid, not adult like your teaching assistant or secretary, for God’s sake). But again, you sometimes just can’t handle it when you feel you’ve been telling them thousand of times and why in the world they don’t get it? Belum lagi kalo you feel being humiliated in public, because they don’t want to use the seat belt in your friends’ car, they cried out loud at school and don’t behave they are “supposed to be expected” or do things one way or another just make you feel embarrased. But the worse ever is when once you lose you control, not necessarily hurting them with your hand (Allah…please never let me ever once commit it to my love ones),but a higher tone of voice or a thread or simply when you just run somewhere and hit something just to lose your emotion without your kid’s notice. And….several minutes after…it was just penyesalan yang amat sangat dalam. Rasa bersalah yang sangat mampu membunuhmu. Dan perasaan that “I am not a good father”… and hantaman-hantaman realitas bahwa mereka begitu karena kita yang memberikan contoh yang tidak baik, lingkungan yang tidak mendukung dan gen yang mengalir dalam darahnya. Bukannya mereka terlahir fitrah…. But again,semuanya serasa mudah dan remeh sekali rasanya, kok bisa mengatakan ini sangat emotionally-tiring? I tell you bro…. ketika melakoninya dunia ini seakan tertutup dan logika orang dewasa yang cerdas manapun kadang kalah oleh kejengkelan yang membakar kepala. Kalo ndak ingat betapa Rosul sayang sama anak kecil, yang bahkan menegur orang tua yang “merenggut’ anaknya dari gendongan Rasulullah karena buang air kecil di pangkuan Rosul (dengan mengatakan, Hai, bajuku ini bisa dibersihkan oleh air, tetapi hati seorang anak siapa yang bisa membersihkan”) rasanya udah keluar Medanku ini hehe ;). Dan ketika itulah jika pasangan tiba2 menghubungi (dgn nelpon atau apalah) rasanya terselamatkanlah diri dan anak-anak ini (sekarang dech baru bisa mengerti, kenapa si bunda minta di telpon kalo lagi senggang di kantor, atau tiba-tiba nelpon pas kita lagi repot2nya kerja). But omak-omak sedunia, man are not having those multitasking brain, jadi juga jangan berkecil hati kalo mereka cuma menjawab he-eh, iya...as if they don’t put their full attention to your need-to-be-rescued-call ya… And for bapak2 sedunia, we are not having those previlage of having multitasking brain, but we do have multi-windows heart (apa pulak lagi artinya ini), use it wisely! ;)
Then I learn that, something small can be so meanigful for those who’ve been at home 24/7. hadiah umpamanya, surprised2 ringan. Oh ya, Rasulullah membiasakan kalau keluar kota, dalam perjalanan yang agak jauh, beliau pulang membawa oleh-oleh sebagai hadiah untuk istri beliau. Pernah Rasulullah saw. tidak ada yang bisa dibeli, kemudian beliau mencari batu di padang pasir terus dibersihkan, dirapiin, terus dikasihkan kepada Aisyah.
Nabi juga ngerjain kerjaan rumah. Nah ini yang terasa sekali. Most of the time, ketika pulang kita malah minta dilayani, bukan membantu melayani. Weekend dan hari libur jadi “me-day”…hehehe. Padahal Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan sebagian pekerjaan istrinya, dan bila beliau mendengar suara azan dikumandangkan, maka beliau bergegas menuju ke mesjid.” (Hr. Bukhari).
Kalo begini jadi ingat babak (panggilan untuk Bapak di keluarga kami), yang merantau kemana-mana (hingga jadi TKI gelap di Malaysia) demi mamak dan kami anak2nya. Dan dia setiap sebelum berangkat kerja menyapu rumah, kadang ikut nyuci berdua mamak di hari minggu. Belum lagi waktu mamak lumpuh dan aku masih kecil sekali (kata tetangga waktu itu aku seperti bayi Ethiopia yang amat sangat cungkring tak berpan**t, sampai dipanggil si pan**t tepos, dan pernah ketemu lagi dgn tetangga itu yang terkejut melihat saya bisa tinggi dan punya hidung besar ;)) , harus masak, memandikan mamak ke kamar mandi dengan menggendongnya, menyuapinya sebelum berangkat ke tempat kerja. Untuk ukuran laki-laki padang jaman bahela (pariaman lebih tepatnya!) yang bahkan pemandangan laki-laki menggendong anak saja sudah sangat berkurang kemaskulinannya (ini tahunya dari tante Eva mathon ;)), apalagi minimnya contoh (kakekku seorang yang "terpaksa" memiliki istri 12 karena beliau diminta sama orang2 diberbagai kampung untuk menikahi anak-anak mereka (well, dia pendekar, jadi orang-orang ingin bermenantukan dia untuk melindungi keluarganya dan menigkatkan "gengsi" keluarga. walaupun nenek adalah yang selalu menjadi utama. Oh ya, nenek gw juga pendekar, surprisingly, dan punya rekor mengalahkan laki-laki2 biadab yang hendak menyerobot warisan kakek hingga mereka terpu**p-p*p*p...ah inimah nanti aja ceritanya, di epik yang lain kali ya...), apalagi kata orang-orang dia tampan, putih, tinggi, jago silat (kalo kataku lebih dari itu...tapi btw, kok ndak ada nurun2nya ke gw ya... hicks!), dia sudah memberikan contoh yang sangat cukup untukku. Love you, babak....very much (andl love my mamak even more ;)).
Anyway, cukuplah dua nasehat ini menjadi pelita dalam kegelapan (aduh…jadi ingat lagu hymne guru ye…) sementara mencari-cari ilmu lainnya:
1. “Orang terbaik di antara kalian ialah orang yang terbaik dalam memperlakukan istrinya (HR. At-Trimidzi)
2. Nabi Saw. pernah ditanya, “Bagaimana seseorang membantu anaknya supaya ia berbakti?”, Nabi berkata: “Janganlah ia dibebani (hal) yang melebihi kemampuannya, memakinya, menakut-nakutinya, dan menghinanya”.
Makanya sayangilah banget2 istri yang ibu rumah tangga….. lebih sayang lagi kalo suaminya yang sementara jaga kandang ngurusin rumah...,.nah lho…hehehe… (alfa, dari millist seorang sahabat)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar