Setiap
manusia terlahir berbeda. Manusia lahir dengan kekhasan dan perbedaannya
masing-masing. Perbedaan manusia bisa terjadi secara fisik, tempat lahir, dan
karakter. Perbedaan-perbedaan tadi akhirnya menimbulkan adanya perbedaan
pandangan dan pola berpikir yang terjadi dalam keseharian manusia dalam
beraktivitas, baik itu di sisi sosial, budaya dan agama. Perbedaan yang terjadi
tadi perlu disadari oleh manusia yang hidup agar mereka bisa bertoleransi dan
hidup dengan rukun di masyarakat.
Secara
etimologi, toleransi adalah istilah dalam konteks social, budaya dan agama yang
berarti sikap perbuatan yang melarang adanya diskrimiasi terhadap
kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas daam
suatu masyarakat. Contohnya toleransi beragama menurut Perez Zagorin dalam
bukunya How the Idea of Religious Toleration Came to the West
mengatakan bahwa toleransi adalah dimana
penganut mayoritas dalam suatu masyarakat menghormati keberadaan agama atau
kepercayaan lainnya yang berbeda. Namun dalam kenyataannya, toleransi bukan
hanya terjadi dalam kehidupan beragama saja. Toleransi adalah kondisi saling
memahami dan menghormati antara manusia yang satu dan yang lain untuk banyak
hal. Bukan hanya yang bersifat keyakinan namun juga hal yang terkadang remeh,
bahkan tak penting.
Dalam ranah
pendidikan anak usia dini, toleransi muncul untuk hal yang lebih ringan dalam
keseharian anak. Toleransi muncul dari hal yang berbau fisik, sikap, cara dan
hal lainnya yang terkadang tidak terpikirkan oleh orang dewasa. Anak-anak di TK
kami terkadang mempermasalahkan temannya yang berrambut keriting, merasa aneh
ketika melihat temannya ada yang bersikap berbeda dari dirinya di kelas,
mengadukan temannya yang ketika bermain terlalu berani, bahkan merasa risih
melihat ada temannya yang dari hidungnya mengalir ingus. Beragam perbedaan tadi
perlu disikapi dengan baik oleh guru agar dapat mengarahkan siswa supaya
memahami bahwa setiap individu berbeda.
Kami mengajak
anak-anak memahami toleransi dalam masyarakat melalui hal-hal kecil, rutin dan
(bahkan terlihat) sepele yang dilakukan di sekolah, misalnya dengan mengajak
mereka mengenal diri sendiri dan mendefinisikan diri mereka sendiri di depan
kelas, sehingga mereka menyadari bahwa setiap individu terlahir berbeda. Untuk
memperkenalkan anak-anak pada hal yang lebih substantif seperti perbedaan
karakter pada individu, kami mengajak mereka bermain bersama, role play (bermain peran), bahkan
membiasakan anak-anak untuk mengingatkan temannya jika ada yang melanggar
aturan. Selain dengan kegiatan rutin, kami juga memasukan muatan toleransi
dalam bagian tematik pembelajaran yang didalamnya kami mensisipkan pembangunan
karakter di dalamnya.
Kami juga
mendidik anak agar memahami adanya konsekuensi social yang dapat timbul ketika
mereka tidak bisa menjalankan aturan-aturan dengan baik, misalnya ketika ada
siswa yang tidak mau antri ketika mencuci tangan maka guru akan memisahkan anak
tersebut ketika makan bersama. Toleransi merupakan bekal anak-anak agar bisa
survive di dalam masyarakat ketika mereka dewasa nanti. Maka sejak usia dini,
kita harus membiasakan toleransi kepada mereka agar mereka siap menghadapi
beragam karakter dan pemikiran yang ada di masyarakat nanti ketika mereka
menjadi pemimpin negeri ini.
*Artikel juara 1 pelatihan menulis artikel yang dilaksanakan harian Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar