Kamis, 03 April 2025

Bagaimana Demokrasi Bisa Mati: Pelajaran dari buku How Democracies Die dan Relevansinya dengan Indonesia

Pendahuluan
Buku How Democracies Die (2018) karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt menjadi alarm global tentang kerapuhan demokrasi di abad ke-21. Berbeda dengan masa lalu, di mana demokrasi biasanya runtuh melalui kudeta militer atau revolusi, kini ancaman terbesar justru datang dari dalam—melalui pemimpin terpilih yang perlahan membongkar institusi demokrasi. Indonesia, sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, tidak kebal dari risiko ini. Artikel ini akan menguraikan temuan Levitsky dan Ziblatt sekaligus mengkorelasikannya dengan dinamika politik Indonesia saat ini.  
---  
Bagaimana Demokrasi Mati?
Levitsky dan Ziblatt menjelaskan bahwa demokrasi modern lebih sering hancur secara bertahap melalui:  
1. Pemimpin yang Memperlemah Institusi
   - Contoh klasik: Hugo Chávez di Venezuela, yang awalnya terpilih secara demokratis, lalu mengubah konstitusi, memberangus oposisi, dan mengontrol media.  
   - Korelasi dengan Indonesia:  
     - Upaya revisi UU KPK (2019) yang melemahkan lembaga antikorupsi.  
     - Pembatasan kebebasan berekspresi melalui UU ITE yang kerap digunakan untuk kriminalisasi kritik.  

2. Erosi Norma Demokrasi
   Dua norma kunci yang harus dijaga:  
   - Saling Toleransi: Mengakui legitimasi lawan politik.  
   - Menahan Diri (Forbearance): Tidak menyalahgunakan kekuasaan untuk menghancurkan oposisi.  
   - Korelasi dengan Indonesia:  
     - Polarisasi politik pasca-Pemilu 2019 yang meninggalkan sentimen "kalah-menang" ekstrem.  
     - Maraknya ujaran kebencian dan delegitimasi terhadap kelompok oposisi (misalnya, stigmatisasi "anti-Pancasila").  

3. Peran Penjaga Demokrasi yang Gagal  
   Partai politik, media, dan lembaga hukum harus menjadi benteng demokrasi. Namun, mereka sering mengorbankan prinsip untuk kepentingan jangka pendek.  
   - Korelasi dengan Indonesia:  
     - Netralitas ASN dan TNI yang kerap dipertanyakan selama pemilu.  
     - Media yang terpolarisasi dan tidak kritis terhadap kekuasaan.  
---  
Ancaman Nyata di Indonesia
1. Uji Coba Pemimpin Otoriter
   Levitsky dan Ziblatt merumuskan 4 tanda pemimpin otoriter, beberapa di antaranya terlihat di Indonesia:  
   - Penyangkalan terhadap legitimasi lawan politik: Misalnya, narasi "pesanan asing" terhadap kritik kebijakan.  
   - Pembatasan kebebasan sipil: Kasus pembubaran diskusi kritis atau penangkapan aktivis dengan UU ITE.  

2. Demokrasi Elektoral Tanpa Substansi 
   Indonesia kerap dipuji sebagai contoh demokrasi yang stabil, tetapi kualitasnya mengkhawatirkan:  
   - Politik transaksional: Maraknya "politik uang" dan oligarki dalam pemilu.  
   - Kontrol atas lembaga independen: Campur tangan dalam proses hukum (misalnya, kasus penjeraan aktivis atau pelemahan KPK).  
---  
Bagaimana Menyelamatkan Demokrasi Indonesia? 
1. Memperkuat Lembaga Penjaga
   - Kembalikan independensi KPK, KPU, dan Mahkamah Konstitusi.  
   - Dorong media untuk lebih berimbang dan kritis.  

2. Menolak Polarisasi Ekstrem
   - Elit politik harus menghentikan narasi pecah-belah (seperti stigmatisasi SARA).  
   - Masyarakat perlu kritis terhadap hoaks dan propaganda.  

3. Membangun Budaya Demokrasi Substansial
   - Pendidikan politik untuk warga tentang pentingnya check and balances.  
   - Gerakan sipil yang konsisten memantau kekuasaan (misalnya, koalisi antikorupsi).  
---  
Kesimpulan
Seperti peringatan Levitsky dan Ziblatt, demokrasi tidak mati dalam sehari, tetapi melalui erosi perlahan. Indonesia masih memiliki fondasi demokrasi yang kuat, tetapi ancaman nyata ada di depan mata: lemahnya penegakan hukum, oligarki, dan polarisasi. Jika masyarakat dan elit politik tidak waspada, demokrasi elektoral kita bisa berubah menjadi "demokrasi illiberal" ala Rusia atau Turki.  

Pesan Kunci:  
"Demokrasi bukan hanya tentang pemilu, tetapi tentang bagaimana kita menjaga kebebasan dan keadilan setiap hari."

Tidak ada komentar: