Rabu, 26 November 2025

Ikhwanul Muslimin, Kemerdekaan Indonesia, dan Kemunafikan Label “Teroris” dari Amerika Serikat

Jejak Solidaritas Ikhwanul Muslimin
Ikhwanul Muslimin (IM) lahir di Mesir pada 1928, didirikan oleh Hassan al‑Banna sebagai gerakan sosial‑keagamaan yang menentang kolonialisme. Sejak awal, IM tidak hanya berfokus pada Mesir, tetapi juga menunjukkan solidaritas lintas bangsa. Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, dukungan dari dunia Islam menjadi salah satu faktor penting dalam memperkuat posisi diplomasi Republik yang masih muda.  

Mesir adalah negara pertama yang secara resmi mengakui kemerdekaan Indonesia pada 1947. Dukungan ini tidak lepas dari pengaruh tokoh‑tokoh Ikhwanul Muslimin yang mendorong opini publik dan pemerintah Mesir untuk berdiri bersama bangsa Indonesia. Demonstrasi, tekanan politik, dan simpati rakyat Mesir—yang banyak diorganisir oleh jaringan IM—membantu membuka jalan bagi pengakuan internasional terhadap Republik Indonesia.

Solidaritas Anti‑Kolonial
IM juga dikenal sebagai gerakan yang mendukung perjuangan bangsa‑bangsa lain melawan penjajahan. Dari Palestina hingga Aljazair, dari Asia hingga Afrika, semangat anti‑imperialisme menjadi bagian dari identitas gerakan ini. Dukungan moral, ideologis, dan kadang praktis diberikan untuk memperkuat tekad bangsa‑bangsa yang ingin merdeka dari cengkeraman kolonial Barat.

Labelisasi “Teroris” dan Kemunafikan Politik
Ironisnya, di abad ke‑21, Amerika Serikat justru berusaha melabeli Ikhwanul Muslimin sebagai organisasi teroris internasional. Pada November 2025, Presiden Donald Trump menandatangani perintah eksekutif untuk meninjau kemungkinan penetapan cabang‑cabang IM sebagai Foreign Terrorist Organization. Langkah ini mengikuti jejak beberapa negara Teluk dan Mesir yang sudah lebih dulu melarang IM.  

Namun, banyak pengamat menilai kebijakan ini sarat kepentingan politik, bukan semata bukti keterlibatan langsung dalam aksi teror. Ikhwanul Muslimin memiliki cabang yang beragam: ada yang fokus pada pendidikan, sosial, dan dakwah, ada pula yang lebih politis. Menyamaratakan seluruh jaringan dengan label “teroris” jelas mengabaikan sejarah panjang IM sebagai gerakan sosial dan anti‑kolonial.

Di sinilah letak kemunafikan Amerika Serikat: bangsa yang lahir dari perjuangan melawan kolonialisme justru melabeli gerakan yang pernah mendukung kemerdekaan bangsa lain sebagai teroris. Padahal, ketika Indonesia berjuang melawan Belanda, dukungan IM dan rakyat Mesir menjadi bagian dari legitimasi internasional yang sangat berharga.  

Refleksi untuk Indonesia
Tulisan ini bukan sekadar nostalgia sejarah, melainkan pengingat bahwa labelisasi politik sering kali digunakan untuk melemahkan gerakan yang dianggap mengancam kepentingan global Barat. Indonesia, yang pernah merasakan manfaat solidaritas Ikhwanul Muslimin, seharusnya kritis terhadap narasi besar yang datang dari luar.  

Kemerdekaan kita tidak hanya hasil perjuangan di medan perang dan diplomasi, tetapi juga buah solidaritas dunia Islam. Menyebut IM sebagai “teroris” tanpa melihat sejarah dukungan mereka terhadap bangsa‑bangsa tertindas adalah bentuk penghapusan memori kolektif perjuangan anti‑kolonial.

Penutup
Ikhwanul Muslimin adalah bagian dari sejarah solidaritas global yang ikut menguatkan kemerdekaan Indonesia. Label “teroris” dari Amerika Serikat mencerminkan standar ganda: ketika gerakan Islam menentang kolonialisme, mereka dipuji; ketika menentang dominasi politik modern, mereka dicap berbahaya. Sejarah mengajarkan kita untuk tidak mudah menerima narasi besar tanpa melihat konteks dan kepentingan di baliknya.

Tidak ada komentar: