Jumat, 29 Februari 2008

Indahnya Kesendirian


Saya punya banyak teman, sahabat tidak banyak. Sahabat berasal dari berbagai macam orang dan tentunya beragam juga pemahamannya. Sahabat saya yang utama adalah teman-teman SMP saya, mereka adalah: Amril, Riza, Oki, Dullah dan Lukman, kadang-kadang ada Zul ataupun Wandi dalam gang kami ini. Dahulu kami sangat dekat dan kental sekali pertemanannya. Tapi seiring berjalannya waktu dan kedewasaan kami menjadi jarang bertemu. Saya mengatakannya sebagai konsekuensi kedewasaan, so aling-aling kita ketemu haya setahun sekali saat hari raya. Mereka semua sudah menikah kecuali Oki. Maka tak heran jika saya dan Oki yang merasa sama-sama jomblo menjadi dekat. Ya... karena perasaan senasib mungkin. Walaupun saya dan Oki dekat tapi kami jarang bersama, paling-paling cuma akhir pekan saja kami bertemu.

Tapi disaat hari kerja dan hari-hari biasanya saya selalu sendiri. Berangkat kantor sendiri, pulang kantor juga, belanja (shoping) sendirian, ke toko buku sendirian, kalau pun mau hang out sepulang kantor pun sendiri. Tapi saya menikmati kesendirian saya, maka beragam perangkat untuk menghibur diri saya siapkan dari mp3 player yang menemani disaat sepi, permen karet yang siap dikunyah kapanpun, game di hape yang memecah kebete-an serta beragam equipment lainnya seperti laptop dan perangkatnya, mau bagaimana lagi... inilah resikonya jadi jomblo. Namun kesepian itu sama sekali tidak mempengaruhi produktivitas saya.

Tapi pernah selama beberapa waktu saya memiliki teman yang menemani untuk hang out, jalan-jalan, belanja, beli dvd bajakan, makan malam dan beragam aktivitas menyenangkan lainnya. Entah apa yang membuat kita menjadi dekat, mungkin karena sama-sama merasa kesepian, atau berusaha menyesuaikan diri dengan gaya hidup Jakarta yang konsumtif dan “aneh” ini. Saya menjalani persahabatan ini dengan baik, sebagai teman – hanya teman. Kalaupun kita dekat tapi sekali lagi ditegaskan bahwa kami hanya teman, tidak lebih. Saya pun tidak mau melibatkan perasaan yang lebih kompleks untuk hal yang satu ini, prinsipnya: saya senang kamu pun senang - tidak lebih.

Saat ini saya kembali dengan kesendirian saya, tidak ada lagi sahabat yang kemarin-kemarin menemani saya untuk jalan-jalan, makan malam dan aktivitas lainnya. Sahabat yang menemani saya disaat kesendiarian telah memilih jalannya sendiri. Sejujurnya saya merasa kehilangan, karena jujur harus diakui bahwa ada teman lebih baik dan menyenangkan dibandingkan sendiri. Tapi mau bagaimana lagi? Sahabat saya yang satu ini sekarang lebih memilih untuk juga kembali kepada kesendiriannya. Ini pilihannya dan saya harus menghormatinya. Maka kembalilah saya dengan gaya hidup saya yang dulu, ke kantor, pulang kantor, belanja, hang out, nonton dan lainnya sendiri. Memang kesendirian tidak terlalu menyenangkan tapi tetap harus dicoba untuk dinikmati... Bukankah begitu?

Selasa, 26 Februari 2008

Kejelasan Alasan


Berat rasanya ketika seorang yang selama ini dekat dengan kita tiba-tiba menjauh. Ya, menjauh untuk alasan yang menurutnya lebih baik. Saya juga yakin ia punya alasan yang tepat mengapa ia melakukannya. Namun, logikanya adalah ALASAN HARUS JELAS dan SETIAP ALASAN PASTI ADA YANG MELATARBELAKANGINYA.

Saya mencoba mencari tahu ada apa dibalik alasannya menjauh dari saya. Apakah ada sikap saya yang salah? Atau perkataan saya? Atau dia terpengaruh oleh perkataan (olok-olok) lingkungan? Atau ada hal lain yang melatarbelakanginya? Sekali lagi saya tegaskan, alasan itu harus jelas.

Setiap kita pasti punya pengalaman spiritual dimana membuat kita seolah tersadar dan mengenang perjalanan kita selama ini sehingga membuat kita berusaha menjadi manusia yang lebih baik. Biasanya pengalaman seperti ini terjadi ketika kita sakit, atau mengalami kecelakaan atau sedang bermimpi. Saya pun pernah mengalami pengalaman seperti ini ketika saya hampir mati dan melihat tubuh saya sendiri, saya seperti terbang dan menyaksikan bagaimana tubuh saya dipapah beramai-ramai oleh orang ketika saya mengalami kecelakaan. Pengalaman itu tidak terlupakan dan membuat saya menyadari beberapa hal- tidak banyak yang bisa saya sadari ketika itu. Namun penyadaran secara spiritual ini seharusnya membawa perubahan secara seimbang pada manusia. Biasanya ia akan menjadi alim, namun alim yang bagaimana? Tentunya alim yang benar-benar baik idealnya, dimana terdapat keseimbangan antara hubungannya secara vertikal dengan Tuhan dan hubungannya secara horizontal dengan manusia. Hubungan horizontal ini mencakup banyak aspek kehidupan,entah saat kita berada di tempat kerja, berada di rumah, lingkungan rumah dan tentunya menjaga persahabatan dengan orang-orang di sekitar kita.

Kembali kepada seseorang yang satu ini, saya tidak tahu pasti apakah dia mendapat hidayah atau sesuatu seperti itu tapi yang pasti ia berubah. Perubahannya terjadi juga pada tataran sikap, saya merasa seperti diacuhkan dan keramahan yang biasanya muncul lalu tiba-tiba menghilang begitu saja. Padahal sebelumnya hampir setiap hari kami bertemu, berbincang dan menceritakan banyak hal. Sebaiknya perubahan ini juga diimbangi dengan persahabatan yang baik, yah... minimal saling menyapa dan mengucapkan salam (walau hanya basa-basi). Namun, manusia dapat berubah seiring bertambah tuanya usia dan semakin dewasanya diri. Saya mencoba memakluminya, semoga kita berdua bisa menjadi orang yang lebih baik...

Senin, 04 Februari 2008

Sesungguhnya Cinta itu (Tidak) Kontroversial


Ingatkah saat Anda dulu jatuh cinta? Atau mungkin saat ini Anda tengah mengalaminya? Itulah yang sedang terjadi pada salah seorang sahabat saya. Akhir-akhir ini tingkah lakunya berubah drastis. Ia jadi suka termenung dan matanya sering menerawang jauh. Jemari tangannya sibuk ketak-ketik di atas tombol telpon genggamnya, sambil sesekali tertawa renyah, berbalas pesan dengan pujaan hatinya. Di lain waktu dia uring-uringan, namun begitu mendengar nada panggil polyphonic dari alat komunikasi kecil andalannya itu, wajahnya seketika merona. Lagu-lagu romantis menjadi akrab di telinganya. Penampilannya pun kini rapi, sesuatu yang dulu luput dari perhatiannya. Bahkan menurutnya nuansa mimpi pun sekarang lebih berbunga-bunga. Baginya semuanya jadi tampak indah, warna-warni, dan wangi semerbak.
Lebih mencengangkan lagi, di apartemennya bertebaran buku-buku karya Kahlil Gibran, pujangga Libanon yang banyak menghasilkan masterpiece bertema cinta. Tak cuma menghayati, kini dia pun menjadi penyair yang mampu menggubah puisi cinta. Sesekali dilantunkannya bait-bait syair. "Cinta adalah kejujuran dan kepasrahan yang total. Cinta mengarus lembut, mesra, sangat dalam dan sekaligus intelek. Cinta ibarat mata air abadi yang senantiasa mengalirkan kesegaran bagi jiwa-jiwa dahaga."Saya tercenung melihat cintanya yang begitu mendalam. Namun, tak urung menyeruak juga sebersit kontradiksi yang mengusik lubuk hati. Sebagai manusia, wajar jika saya ingin merasakan totalitas mencintai dan dicintai seseorang seperti dia. Tapi bukankah kita diwajibkan untuk mencintai Allah lebih dari mencintai makhluk dan segala ciptaan-Nya?
Lantas apakah kita tidak boleh mencintai seseorang seperti sahabat saya itu? Bagaimana menyikapi cinta pada seseorang yang tumbuh dari lubuk hati? Apakah cinta itu adalah karunia sehingga boleh dinikmati dan disyukuri ataukah berupa godaan sehingga harus dibelenggu? Bagaimana sebenarnya Islam menuntun umatnya dalam mengapresiasi cinta? Tak mudah rasanya menemukan jawaban dari kontroversi cinta ini.Alhamdulillah, suatu hari ada pencerahan dari tausyiah dalam sebuah majelis taklim bulanan. Islam mengajarkan bahwa seluruh energi cinta manusia seyogyanya digiring mengarah pada Sang Khalik, sehingga cinta kepada-Nya jauh melebihi cinta pada sesama makhluk. Justru, cinta pada sesama makhluk dicurahkan semata-mata karena mencintai-Nya. Dasarnya adalah firman Allah SWT dalam QS Al Baqarah 165, "Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.Jadi Allah SWT telah menyampaikan pesan gamblang mengenai perbedaan dan garis pemisah antara orang-orang yang beriman dengan yang tidak beriman melalui indikator perasaan cintanya. Orang yang beriman akan memberikan porsi, intensitas, dan kedalaman cintanya yang jauh lebih besar pada Allah. Sedangkan orang yang tidak beriman akan memberikannya justru kepada selain Allah, yaitu pada makhluk, harta, atau kekuasaan.Islam menyajikan pelajaran yang berharga tentang manajemen cinta; tentang bagaimana manusia seharusnya menyusun skala prioritas cintanya. Urutan tertinggi perasaan cinta adalah kepada Allah SWT, kemudian kepada Rasul-Nya (QS 33: 71). Cinta pada sesama makhluk diurutkan sesuai dengan firman-Nya (QS 4: 36), yaitu kedua orang ibu-bapa, karib-kerabat (yang mahram), anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya. Sedangkan harta, tempat tinggal, dan kekuasaan juga mendapat porsi untuk dicintai pada tataran yang lebih rendah (QS 9: 24).
Perasaan cinta adalah abstrak. Namun perasaan cinta bisa diwujudkan sebagai perilaku yang tampak oleh mata. Di antara tanda-tanda cinta seseorang kepada Allah SWT adalah banyak bermunajat, sholat sunnah, membaca Al Qur’an dan berdzikir karena dia ingin selalu bercengkerama dan mencurahkan semua perasaan hanya kepada-Nya. Bila Sang Khaliq memanggilnya melalui suara adzan maka dia bersegera menuju ke tempat sholat agar bisa berjumpa dengan-Nya. Bahkan bila malam tiba, dia ikhlas bangun tidur untuk berduaan (ber-khalwat) dengan Rabb kekasihnya melalui shalat tahajjud. Betapa indahnya jalinan cinta itu!Tidak hanya itu. Apa yang difirmankan oleh Sang Khaliq senantiasa didengar, dibenarkan, tidak dibantah, dan ditaatinya. Kali ini saya baru mengerti mengapa iman itu diartikan sebagai mentaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Seluruh ayat-Nya dianggap sebagai sesuatu yang luar biasa sehingga seseorang yang mencintai-Nya merasa sanggup berkorban dengan jiwa, raga, dan harta benda demi membela agama-Nya.
Totalitas rasa cinta kepada Allah SWT juga merasuk hingga sekujur roh dan tubuhnya. Dia selalu mengharapkan rahmat, ampunan, dan ridha-Nya pada setiap tindak-tanduk dan tutur katanya. Rasa takut atau cemas selalu timbul kalau-kalau Dia menjauhinya, bahkan hatinya merana tatkala membayangkan azab Rabb-nya akibat kealpaannya. Yang lebih dahsyat lagi, qalbunya selalu bergetar manakala mendengar nama-Nya disebut. Singkatnya, hatinya tenang bila selalu mengingat-Nya. Benar-benar sebuah cinta yang sempurna.Puji syukur ya Allah, saya menjadi lebih paham sekarang! Cinta memang anugerah yang terindah dari Maha Pencipta. Tapi banyak manusia keliru menafsirkan dan menggunakannya. Islam tidak menghendaki cinta dikekang, namun Islam juga tidak ingin cinta diumbar mengikuti hawa nafsu seperti kasus sahabat saya tadi.Jika saja dia mencintai Allah SWT melebihi rasa sayang pada kekasihnya. Bila saja pujaan hatinya itu adalah sosok mukmin yang diridhai oleh-Nya. Dan andai saja gelora cintanya itu diungkapkan dengan mengikuti syariat-Nya yaitu bersegera membentuk keluarga sakinah, mawaddah, penuh rahmah dan amanah... Ah, betapa bahagianya dia di dunia dan akhirat...
Alangkah indahnya Islam! Di dalamnya ada syariat yang mengatur bagaimana seharusnya manusia mengelola perasaan cintanya, sehingga menghasilkan cinta yang lebih dalam, lebih murni, dan lebih abadi. Cinta seperti ini diilustrasikan dalam sebuah syair karya Ibnu Hasym, seorang ulama sekaligus pujangga dan ahli hukum dari Andalusia Spanyol dalam bukunya Kalung Burung Merpati (Thauqul Hamamah), "Cinta itu bagaikan pohon, akarnya menghujam ke tanah dan pucuknya banyak buah.”