Rabu, 23 Januari 2008

Rutinitas untuk Kebaikan


Ada kalanya kita akan berpikir, entah ketika itu dalam perjalanan ke tempat kerja atau pulang kerja atau ketika kita sedang di rumah atau dimana pun itu tentang aktivitas yang kita kerjakan setiap hari. Ada yang aktivitas hariannya begitu menyenangkan bagi kita untuk dijalani, namun ada sebagian orang yang merasa terbebani dengan aktivitas harian kita. Perasaan menyenangkan ataupun merasa terbebani adi tidak dapat kita pungkiri ketika kita beraktivitas harian. Ada dari sebagian kita yang memiliki aktivitas harian yang dinamis, dipenuhi dengan perjalanan keluar, terkadang di kantor, rapat, bertemu klien ataupun orang baru, mempresentasikan sesuatu kepada orang lain, melobi seseorang, terjebak kemacetan Jakarta, kehujanan di jalan, makan siang dengan kolega atau banyak kegiatan lainnya. Namun ada sebagian kita yang terjebak dengan rutinitas harian yang amat statis, rutinitas di depan meja setiap hari, ataupun hanya mengangkat telepon, atau aktivitas yang hanya itu-itu saja dari hari ke hari.

Ada sebagian kita yang menyukai rutinitas, ada juga yang tidak menyukai rutinitas dan lebih menyukai mengerjakan hal-hal baru dan berbeda dari hari ke hari. Secara psikologis suka atau tidak suka dengan aktivitas tadi bisa dimaklumi. Tapi saat ini saya mengajak kita semua untuk coba merenungi apa yang melatar belakangi kita beraktivitas. Kita bekerja untuk apa? Ada yang akan menjawab untuk memenuhi kebutuhan, ada yang akan menjawab untuk pengembangan diri, ada yang akan menjawab untuk da’wah, ada yang menjawab untuk karir dan berbagai jawaban lainnya yang memungkinkan. Rasa menikmati atau tidak menikmati aktivitas akan tergantung dengan jawaan dari pertanyaan untuk apa kita bekerja tadi.

Hati juga perlu dipersiapkan dengan baik ketika kita beraktivitas dan mempersiapkannya untuk menerima aktivitas rutin kita dengan baik. Beragam pendekatan ruhiah bisa dilakukan dalam mempersiapkan hati agar optimal dalam aktivitas harian kita – bekerja. Misalnya dengan melakukan sholat Dhuha sebelum berangkat ke tempat beraktivitas sehingga kita akan merasa tenang dalam bekerja. Namun terlepas dari itu, semuanya kembali kepada keikhlasan kita dalam bekerja yang dilatarbelakangi oleh rasa cinta dan harapan kita akan kondisi yang lebih baik bagi kita, keluarga, masyarakat dan bangsa.

Minggu, 20 Januari 2008

Sekarang Zamannya Mereka


Jadi teringat beberapa waktu yang lalu ketika saya berkunjung ke sebuah tempat yang dulu jadi markas saya aktu masih di kampus, yakni: BEM UNJ. Kadang kita merasa bahwa masa kita adalah yang terbaik. Hal itu yang kerap saya rasakan ketika melihat adik-adik kelas yang masih aktif dalam kegiatan kemahasiswaan. Sebutlah di BEM UNJ, walau LPJ kami ditolak tapi kami merasa kami tetap yang terhebat. Jujur, kami meresa bahwa kamilah yang terhebat. Dan masa ketika kami beraktivitas adalah masa terindah dan menjadi salah satu bagian yang tak terlupakan dalam hidup. Kami menjadi saudara seperjuangan yang terus Allah jaga ukhuwahnya sampai sekarang.


Contohnya hari ini, ketika saya datang ke BEM UNJ untuk berbincang mengenai Pilkada DKI saya melihat beberapa orang adik sedang mencoba membuat bunga yang rencananya akan dipakai buat aksi tentang kekerasan di IPDN. Saya melihat yang turun hanya adik-adik yang perempuan saja, sedangkan yang lelaki diam aja. Gak tau karena gak bisa atau kenapa, tapi dulu waktu saya masih di BEM semua pasti akan ikutan nimbrung membantu. Dan sambil iseng saya coba nimbrung bantu bikin bunga, lumayan walau Cuma dapat 3 tapi gak jelek-jelek banget.


Yah, tapi semua masa punya pahlawannya masing-masing. Masa kami telah berlalu dan sekarang adalah masa mereka. Mungkin saja karakter yang seperti merekalah yang saat ini relevan dan pas untuk pengondisian saat ini. Tapi saya termasuk tipe orang yang gak sepakat ketika alasan masa kini berbeda dengan dahulu membuat adik-adik gak mau sharing pengalaman dengan kami yang tua-tua (cie...). Kami punya pengalaman yang bisa kami bagi sebagai pembanding dan pertimbangan dalam melakukan pergerakan. Insya Allah kami akan selalu siap bila adik-adik kami memerlukan bantuan, nasihat atau apapun ini itu, tentunya dengan segala keterbatasan kami.

Malam hari, ketika siangnya seharian di BEM UNJ.

Jumat, 18 Januari 2008

Dunia Sophie

Apa yang menarik dari Sophie's World (Dunia Sophie)? Buat sebagian orang, novel filsafat itu menarik karena berhasil menyederhanakan pembahasan filsafat yang rumit ke dalam bahasa yang sederhana. Buat sebagian yang lain, Sophie's World, yang ditulis oleh Jostein Gaarder dan menjadi best seller di manca negara, menjadi menarik karena pengarangnya berhasil memainkan rasa penasaran pembaca.

Buat saya, yang mendapat buku itu di toko buku bekas di kampus saya, buku itu menarik karena dua alasan. Pertama, saya amat terkesan ketika Albert Knox menulis untuk Sophie, gadis berusia 14 tahun, "Banyak manusia yang hidup di dunia dengan cara yang sama anehnya dengan pesulap yang menarik seekor kelinci keluar dari topi yang kosong. Dalam kasus kelinci itu, kita tahu pesulap telah mengerjai kita. Yang ingin kita ketahui adalah bagaimana dia melakukannya. Berbeda dengan dunia kita. Kita tahu bahwa dunia bukanlah tipuan tangan sebab kita ada didalamnya; kita bagian dari dunia itu.

Sebenarnya, kitalah kelinci putih yang ditarik keluar dari topi. Bedanya, kelinci itu tak sadar bahwa itu bagian dari sebuah tipuan sulap. Tidak seperti kita, kita menyadari bahwa kita adalah bagian sesuatu yang misterius dan kita ingin tahu bagaimana itu semuanya berjalan." (Jostein Gaarder, Sophie's World, Phoenix House, London, 1991, hal. 13).

Rasa ingin tahu yang dilukiskan di atas membawa kita untuk menggunakan akal kita. Hanya saja, Gaarder secara cerdik menulis cerita Sophie's World itu dengan sejumlah daya imajinasi yang sama sekali tak masuk akal. Bagaimana tokoh kartun bisa hidup di depan Sophie, bagaimana dunia bisa berubah ketika ia minum salah satu cairan dan bagaimana Sophie dan gurunya, Albert Knox, bisa lenyap dan ganti memata-matai Hilde dan ayahnya. Tapi justru inilah alasan ketertarikan saya yang kedua.

Dunia Sophie merupakan perpaduan dunia rasional dan dunia irrasional sekaligus. Saya kembali teringat akan Dunia Sophie pada realita dunia kita. Ia seyogyanya bisa membawa kita menyadari, bahwa di tengah hidup kita yang kompetitif dan selalu berpacu dengan hal-hal rasional, ada sebuah ruang luas yang menyediakan tempat untuk dunia irrasional. Dunia Sophie mengajarkan kita bahwa hidup ini tidak melulu berdasarkan hitungan rasional. Bulan puasa menjadi momen kita untuk menghela nafas sejenak dan merenungi sikap kita yang selalu mendewakan rasionalitas.

Di atas saya sudah mengutip Dunia Sophie, lalu bagaimana dunia menurut Fariduddin Aththar? Sufi besar yang hidup pada abad ke-12 ini menulis, "Dunia ini ibarat tenda kafilah dengan dua pintu: engkau masuk dari satu pintu dan keluar dari pintu lainnya...Meskipun engkau seorang Iskandar Agung, dunia sementara ini kelak akan memberikan kain kafan bagi segenap keagunganmu..."

Aththar benar! Karena akal yang kita dewa-dewakan pun akan berujung pada sebuah kain kafan. (alfa)