Selasa, 23 Maret 2010

Review Film "Alice in Wonderland": Bukan Alice yang Dulu




Semalam sya sempat menonton film Alive in Wonderland yang katanya bagus itu. Buktinya film ini sudah jadi Box Office di Amrik selama 3 pekan. Saya jadi penasaran dan menyempatkan diri untuk nonton. Kisah dibuka dengan Alice kecil yang selalu mengalami mimpi yang sama berulang-ulang, tentang suatu tempat asing yang memiliki kelinci putih, kucing tersenyum, ulat bulu besar berwarna biru, dan makhluk aneh lainnya. Beruntung sang ayah adalah seorang yang imaginatif dan selalu mengatakan bahwa tidak ada hal yang tidak mungkin di dunia ini. Tiga belas tahun kemudian Alice Kingsley (Mia Wasikowska) telah beranjak remaja, ayahnya telah meninggal dunia. Ia tengah berada dalam sebuah situasi dimana sang ibu dan saudara perempuannya memaksa agar ia mau menikah dengan pemuda bangsawan yang aneh. Ketika pemuda tersebut ingin melamarnya, tiba-tiba saja Alice melihat kelinci putih yang selalu ada dalam mimpinya sejak kecil. Ia mengikuti kelinci tersebut sampai akhirnya terperosok dalam sebuah lubang yang membawanya ke Underland. Lalu disana Alice bertemu dengan The Mad Hatter (Johnny Depp) yang memberitahunya kalau ia lah yang ditakdirkan membantu The White Queen (Anne Hathaway) untuk merebut kembali haknya sebagai pemimpin Underland dari tangan jahat The Red Queen (Helena Bonham Carter). Disana Alice juga bertemu dengan makhluk yang sudah sering ia lihat dalam mimpinya seperti Tweedledee/Tweedledum, Cheshire Cat, Blue Caterpillar, White Rabbit, dan makhluk lainnya. Lalu dimulailah petualangan Alice!

Kenapa Tim harus merubah Wonderland menjadi Underland? Sounds soooo weird.. Menurut saya itu hal yang tidak perlu dilakukan, seperti membuang sebuah esensi penting dalam film ini. Dengan naskah yang tidak dapat dibanggakan, beruntung Alice in Wonderland dikemas dalam visualisasi yang menarik khas Tim Burton. Sedikit lega melihat masih ada sedikit sentuhan Burton melalui gambar yang berwarna-warni tapi tetap sekaligus memberikan kesan misterius, karakter makhluk yang diperbaharui menjadi lebih segar dan unik. Akan tetapi ada bagian dari film ini yang terasa terlalu berlebihan dalam hal CGI, bahkan beberapa karakter benar-benar terlihat seperti kartun, bukan animasi. Animasi yang ditampilkan terkesan masih 'setengah matang'. Ending film juga terkesan sangat gampang dan terburu-buru, keseluruhan film ini sudah dapat saya tebak dengan mudah dari awal. Ya, saya tahu ini memang diadaptasi dari serial anak-anak, tapi yang satu ini memang terasa too plain, too simple, too flat..

Dari semua kekurangan yang sudah saya sebutkan diatas, saya tetap tidak bisa bilang film ini jelek karena memang film ini cukup fun dan entertaining. Tepuk tangan meriah saya berikan untuk Helena Bonham Carter, istri Tim Burton, yang bermain sangat apik dalam memerankan karakter The Red Queen. Teriakan, intonasi, dan gelagatnya sangat pas dengan peran yang harus ia mainkan. Belum lagi dandanannya yang freak dengan kepala berbentuk hati yang super besar dan bibir love ala Jeng Kelin. Menghibur sekali. Johnny Depp yang memerakan The Mad Hatter memang jagonya peran-peran nyeleneh seperti ini dan sepertinya ia tidak kesulitan dengan perannya kali ini. Anne Hathaway tampil membawakan karakternya sebagai The White Queen yang sebenarnya agak konyol menurut saya, dengan tangan yang selalu melambai-lambai kesana kemari, but never mind, mungkin memang harus begitu. Ia cukup baik membawakan perannya. Seandainya saja peran Alice bukan dimainkan oleh Mia Wasikowska, entahlah.

Overall, film ini tetap layak untuk ditonton. Ceritanya standar namun dikemas dalam visualisasi yang indah dan sedap dipandang mata. Bagi yang tidak punya harapan terlalu tinggi pada film ini pasti akan sangat terhibur. Mungkin review saya kali ini sedikit subjektif karena saya terlalu mengharapkan sesuatu yang lebih dari seorang Tim Burton. Sudah pasti hal ini turut terpengaruhi oleh ekspektasi saya sejak awal. Namun biar bagaimanapun juga saya cukup menikmati film ini. In the end...it's NOT A BAD MOVIE at all, it's surely a perfect movie for family, but definitely not what I'd expected from Tim Burton.

Senin, 15 Maret 2010

Di Rumahku Ada Cinta


Taman punya kita berdua
Tak lebar luas, kecil saja
Satu tak kelihatan lain dalamnya
Bagi kau dan aku cukuplah

Itu penggalan puisi Chairil Anwar, 1943, tentang rumahnya yang disebutnya taman. Taman hati. Taman hidup. Sempit ruangnya. Tapi cinta membuatnya jadi terasa cukup lapang dalam dada. Cinta membuatnya nyaman dihuni.

Kecil, penuh surya taman kita
Tempat merenggut dari dunia dan 'nusia

Kenyamanan. Itu rahasia jiwa yang diciptakan cinta: maka kita mampu bertahan memikul beban hidup, melintasi aral kehidupan, melampaui gelombang peristiwa, sambil tetap merasa nyaman dan teduh. Cinta menciptkan kenyamanan yang bekerja menyerap semua emosi negatif masuk ke dalam serat-serat jiwa melalui himpitan peristiwa kehidupan. Luka-luka emosi yang kita alami di sepanjang jalan kehidupan ini hanya meungkin dirawat di sana: di dalam rumah cinta.

Dalam rumah cinta itu kita menemukan sistem perlindungan emosi yang ampuh. Mary Carolyn Davies mengungkapkannya dengan manis:

Ada sebuah tembok yang kuat
Di sekelilingku yang melindungiku
Dibangun dari kata-kata yang kau ucapkan padaku

Jiwa yang terlindung akan cepat bertumbuh dan berbuah. Sederhana saja. Karena hakikat cinta selamanya hanya satu: memberi. Memberi semua kebaikan yang tersimpan dalam jiwa. Melalui tatapan mata, kata atau tindakan. Jika kita terus menerus memberi maka kita akan terus menerus menerima. Pemberian jiwa itu menghidupkan kekuatan kebajikan yang sering tertidur dalam jiwa manusia. Seperti pohon: pada mulanya ia menyerap matahari dan air, untuk kemudian mengeluarkan semua kebajikan yang ada dalam dirinya: buahnya keindahan.

Dalam rumah yang penuh cinta itu kita menemukan rasa aman, kenyamanan dan kekuatan untuk terus bertumbuh. Itu sebabnya rumah yang begitu seperti menghadirkan surga dalam kehidupan kita. Rumah itu pasti utuh. Dan Abadi. Adakah doa cinta yang lebih agung daripada apa yang diajarkan sang Rasul kepada kita di malam pertama saat kita meletakkan dasar bangunan hubungan jiwa yang abadi? Letakkan tangan kananmu di atas ubun-ubun istrimu, lalu ucapka doa ini dengan lembut:

Ya Allah, aku mohon pada-Mu kebaikan perempuan ini dan semua kebaikan yang tercipta bersama penciptanya. (Anis Matta)

Selasa, 02 Maret 2010

My Name is Khan; Kisah Rasis di Amerika


Peristiwa kelam penyerangan dua menara kembar World Trade Center (WTC) yang berlokasi di New York pada medio bulan September 2001 memang banyak menyebabkan perubahan dunia hingga kini. Peristiwa yang dikenal dengan sebutan 9/11 itu banyak berdampak pada warga muslim yang tinggal di Amerika Serikat.

Lewat sebuah film arahan Karan Johar, sutradara yang pernah sukses menggarap film kolosal India "Kuch Kuch Hota Hai", penonton pun diajak untuk menyaksikan sebuah drama pergulatan hidup dari Rizwan Khan (yang dimainkan dengan gemilang oleh Shahrukh Khan) yang menderita sindrom Asperger, sebuah kelainan autisme dimana Rizwan bisa kelewat cerdas namun tidak memiliki emosi.

Lahir dan besar di lingkungan kumuh Mumbai-India, Rizwan dan adiknya Zakir Khan (Jimmy Shergill) serta sang ibu hidup harmonis walau miskin, sampai akhirnya pada usia 18 tahun sang adik Zakir mendapatkan beasiswa untuk sekolah di Amerika Serikat.

Tak lama kemudian setelah Zakir menikah dan sang ibu meninggal, Rizwan akhirnya pindah ke San Fransisco. Di situ dia mendapat pekerjaan sebagai sales penjualan barang kecantikan di tempat sang adik. Dari pergulatan hidup yang keras di kota itu, Rizwan bertemu dengan sosok janda cantik Mandhira (Kajol) yang membuatnya jatuh cinta.

Harmonisasi pasangan ini mulai terganggu saat peristiwa 9/11 mengubah hidup mereka semua. Tercerai berai dalri keluarganya, Rizwan lalu meminta keadilan pada Presiden Amerika Serikat terpilih. Berhasilkah dia?

Tontonan yang cukup menguras air mata ini dibungkus dengan durasi mencapai 160 menit dengan tanpa goyangan ala film India pada umumnya. Film yang merupakan kolaborasi Fox Searchlight Pictures dan Dharma Productions ini sudah dapat dinikmati secara terbatas di berbagai negara. Premiere-nya sendiri sudah berlangsung saat digelarnya Berlinale Film Festival Ke-60 pada bulan ini.