Senin, 28 April 2008

Monas di Malam Hari

Jarang-jarang saya lihat teman-teman saya yang punya FS atau blog itu berfoto dengan latar Monas. Padahal Monas adalah lambang nasional Indonesia, suatu kebanggaan bangsa. Maka terlintas ide untuk bisa berfoto di depan Monas dan di up load di Friendster dan blog saya. Saya ingin tunjukkan kepada dunia bahwa saya adalah nasionalis sejati, pencinta tanah air dan bangga pada monumen nasional milik bangsa ini.

Maka berangkatlah saya ke Monas, dan saya pilih malam hari agar tidak panas (lagi agak bermasalah dengan sinar UV) dan mendapatkan pemandangan yang berbeda. Lagian kalo datang di Monas siang hari sudah terlalu sering biasanya apalagi sambil demo atau lari pagi bersama sahabat-sahabat saya. Ternyata Monas di malam hari lebih menarik dibandingkan siang hari. Lampu yang menyala dengan bentuk yang khas mengingatkan kita pada arsitektur Eropa, jalan yang dibuat seolah-olah dari batu-batu itu mengingatkan kita pada jalan-jalan di taman Paris, dan kursi taman yang banyak lengkap dengan koridornya mengingatkan kita akan Central Park di New York. Tapi ini di Indonesia, tepatnya di Jakarta. Kekhasan Eropa tentunya tidak semua bisa dinikmati, masih ada pedagang asongan yang berkeliaran dan tentunya pengamen semakin melengkapi ketidaknyamanan Monas.

Saya tertarik dengan sepasang muda-mudi yang keliatannya mereka punya hubungan dekat. Kebetulan disamping mereka ada satu bangku taman lagi yang kosong dan saya berencana untuk duduk di bangku kosong tadi. Tapi ternyata pasangan tadi lalu buru-buru duduk menjauh dan berpisah bangku. Saya duduk di samping sang pemuda itu. Saya perhatikan pria itu dari ujung kaki sampai kepala. Dekil... itulah kesan pertama yang saya lihat. Rambutnya kusut, dan ia tampak sedang memikirkan sesuatu yang amat rumit. Sebentar-sebentar ia menggaruk rambut gondrongnya, lalu menghisap rokoknya dalam-dalam sambil menatap bintang di langit cerah. Jujur saja atmosfer saat itu mendadak tidak menyenangkan dan akhirnya saya memutuskan untuk pergi dari bangku itu, meninggalkan mereka berdua yang sedang menikmati masalah mereka.

Dan tentunya banyak lagi kisah yang bisa kita lihat dan cermati di Monas. Cobain aja sendiri dan rasakan sensasinya...

Selasa, 22 April 2008

Menjadi Pribadi To Do, To Have, atau To Be?


"Kegembiraan terbesar dalam hidup adalah keyakinan bahwa kita dicintai. Oleh karenanya, kita membagikan cinta bagi orang lain" (Victor Hugo)

Tidak ada yang bisa menghentikan waktu. Ia terus maju. Umur terus bertambah. Manusia pun mengalami babak-babak dalam hidupnya. Saat masuk fase dewasa, orang memasuki tiga tahapan kehidupan.

Ada masa di mana orang terfokus untuk melakukan sesuatu (to do). Ada saat memfokuskan diri untuk mengumpulkan (to have). Ada yang giat mencari makna hidup (to be). Celakanya, tidak semua orang mampu melewati tiga tahapan proses itu.

Fase pertama, fase to do. Pada fase ini, orang masih produktif. Orang bekerja giat dengan seribu satu alasan. Tapi, banyak orang kecanduan kerja, membanting tulang, sampai mengorbankan banyak hal, tetap tidak menghasilkan buah yang lebih baik. Ini sangat menyedihkan. Orang dibekap oleh kesibukan, tapi tidak ada kemajuan. Hal itu tergambar dalam cerita singkat ini. Ada orang melihat sebuah sampan di tepi danau. Segera ia meloncat dan mulailah mendayung. Ia terus mendayung dengan semangat. Sampan memang bergerak. Tapi, tidak juga menjauh dari bibir danau. Orang itu sadar, sampan itu masih terikat dengan tali di sebuah tiang.

Nah, kebanyakan dari kita, merasa sudah bekerja banyak. Tapi, ternyata tidak produktif. Seorang kolega memutuskan keluar dari perusahaan. Ia mau membangun bisnis sendiri. Dengan gembira, ia mempromosikan bisnisnya. Kartu nama dan brosur disebar. Ia bertingkah sebagai orang sibuk.

Tapi, dua tahun berlalu, tapi bisnisnya belum menghasilkan apa-apa. Tentu, kondisi ini sangat memprihatinkan. Jay Abraham, pakar motivasi bidang keuangan dan marketing pernah berujar, "Banyak orang mengatakan berbisnis. Tapi, tidak ada hasil apa pun. Itu bukanlah bisnis." Marilah kita menengok hidup kita sendiri. Apakah kita hanya sibuk dan bekerja giat, tapi tanpa sadar kita tidak menghasilkan apa-apa?

Fase kedua, fase to have. Pada fase ini, orang mulai menghasilkan. Tapi, ada bahaya, orang akan terjebak dalam kesibukan mengumpulkan harta benda saja. Orang terobsesi mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Meski hartanya segunung, tapi dia tidak mampu menikmati kehidupan. Matanya telah tertutup materi dan lupa memandangi berbagai keindahan dan kejutan dalam hidup. Lebih-lebih, memberikan secuil arti bagi hidup yang sudah dijalani. Banyak orang masuk dalam fase ini.

Dunia senantiasa mengundang kita untuk memiliki banyak hal. Sentra-sentra perbelanjaan yang mengepung dari berbagai arah telah memaksa kita untuk mengkonsumsi banyak barang.
Bahkan, dunia menawarkan persepsi baru. Orang yang sukses adalah orang yang mempunyai banyak hal. Tapi, persepsi keliru ini sering membuat orang mengorbankan banyak hal. Entah itu perkawinan, keluarga, kesehatan, maupun spiritual.

Secara psikologis, fase itu tidaklah buruk. Harga diri dan rasa kepuasan diri bisa dibangun dengan prestasi-prestasi yang dimiliki. Namun, persoalan terletak pada kelekatannya. Orang tidak lagi menjadi pribadi yang merdeka.

Seorang sahabat yang menjadi direktur produksi membeberkan kejujuran di balik kesuksesannya. Ia meratapi relasi dengan kedua anaknya yang memburuk. "Andai saja meja kerja saya ini mampu bercerita tentang betapa banyak air mata yang menetes di sini, mungkin meja ini bisa bercerita tentang kesepian batin saya...," katanya.

Fase itu menjadi pembuktian jati diri kita. Kita perlu melewatinya. Tapi, ini seperti minum air laut. Semakin banyak minum, semakin kita haus. Akhirnya, kita terobsesi untuk minum lebih banyak lagi.

Fase ketiga, fase to be. Pada fase ini, orang tidak hanya bekerja dan mengumpulkan, tapi juga memaknai. Orang terus mengasah kesadaran diri untuk menjadi pribadi yang semakin baik. Seorang dokter berkisah. Ia terobsesi menjadi kaya karena masa kecilnya cukup miskin. Saat umur menyusuri senja, ia sudah memiliki semuanya. Ia ingin mensyukuri dan memaknai semua itu dengan membuka banyak klinik dan posyandu di desa-desa miskin.


Memaknai hidup

Ia memaknai hidupnya dengan menjadi makna bagi orang lain. Ada juga seorang pebisnis besar dengan latar belakang pertanian hijrah ke desa untuk memberdayakan para petani. Keduanya mengaku sangat menikmati pilihannya itu.

Fase ini merupakan fase kita menjadi pribadi yang lebih bermakna. Kita menjadi pribadi yang berharga bukan karena harta yang kita miliki, melainkan apa yang bisa kita berikan bagi orang lain.

Hidup kita seperti roti. Roti akan berharga jika bisa kita bagikan bagi banyak orang yang membutuhkan. John Maxwell dalam buku Success to Significant mengatakan "Pertanyaan terpenting yang harus diajukan bukanlah apa yang kuperoleh. Tapi, menjadi apakah aku ini?"
Nah, Mahatma Gandhi menjadi contoh konkret pribadi macam ini. Sebenarnya, ia menjadi seorang pengacara sukses. Tapi, ia memilih memperjuangkan seturut nuraninya. Ia menjadi pejuang kemanusiaan bagi kaum papa India.

Nah, di fase manakah hidup kita sekarang? Marilah kita terobsesi bukan dengan bekerja atau memiliki, tetapi menjadi pribadi yang lebih matang, lebih bermakna dan berkontribusi!


Sumber: Pribadi To Do, To Have, atau To Be? oleh Anthony Dio Martin

Senin, 21 April 2008

Kita Bisa Bahagia


Manusia bahagia bila ia bisa membuka mata
Untuk menyadari bahwa ia memiliki banyak hal yang berarti
Manusia bisa bahagia bila ia mau membuka mata hati
Untuk menyadari betapa ia dicintai
Manusia bisa bahagia, bila ia mau membuka diri
Agar orang lain dapat mencintainya dengan tulus

Manusia tidak bahagia karena tidak mau membuka hati
Berusaha meraih yang tidak dapat diraih
Memaksa untuk mendapatkan segala yang diinginkan
Tidak mau menerima dan menyadari apa yang ada

Manusia buta karena egois dan hanya memikirkan diri
Tidak sadar bahwa ia begitu dicintai
Tidak sadar bahwa saat ini apa yang ada adalah yang terbaik
Sering kali kita selalu berusaha memilih, dan tidak mau sadar karena serakah

Ada sahabat yang begitu mencintai namun tidak diindahkan
Karena memilih, menilai dan menghakimi sendiri
Memilih teman dan mencari-cari
Padahal di depan mata ada teman yang sejati

Kebahagiaan bersumber dari dalam diri sendiri
Jikalau berharap dari orang lain
Bersiaplah ditinggalkan, siaplah dikhianati
Kita akan bahagia bila bisa menerima diri apa adanya
Mencintai dan menghargai diri sendiri
Mau mencintai orang lain
Dan mau menerima orang lain

Percayalah kepada Tuhan dan bersyukur kepada-Nya
Bahwa kita selalu diberikan yang terbaik sesuai usaha kita
Tak perlu berkeras hati
Ia akan memberi di saat yang tepat apa yang kita butuhkan
Meskipun bukan hari ini, masih ada hari esok

Berusaha dan bahagialah karena kita dicintai begitu banyak orang



Jakarta, 5 Desember 2003 (puisi yang diberikan seorang sahabat ketika ulang tahun saya ke 23)

Jumat, 11 April 2008

Ditikam Waktuku


Ditikam waktuku,
diricuhi dengan teror tanpa mula.

Damaiku,
diporakporandakan dengan debutan debat.

Mata-mata tanpa jiwa,
kata-kata tanpa dosa.

Menodongku,
dengan jubah kritisnya.

Kalimat sapanya tak lagi indahkan etika,
seolah mengorek dan merebut tenangku.

Ditikam waktuku,
diricuhi dengan teror tanpa mula.

Mohon biarkan damai kunikmati.

Senin, 07 April 2008

Ajari Aku

Aku telah menabur benih cinta di ladang yang salah sehingga tumbuhnya begitu merana,
aku telah menabur benih cinta pada waktu yang salah sehingga buahnya menjadi racun,
aku telah menabur benih cinta dengan cara yang salah sehingga yang tumbuh hanya onak duri.

Ya Allah, ajari Aku,
untuk tahu dimana harus menabur benih cinta ini,
untuk tahu kapan harus menabur benih cinta ini...,
untuk tahu bagaimana menabur benih cinta ini....,
karena kadang.....,
aku melihat ladang, yang ternyata gurun,
aku menempatkan musim, yang ternyata jebakan,
aku menempuh cara, yang ternyata penuh bahaya,
aku tidak ingin lagi salah menabur....
Ya Allah, ajari aku menabur dengan benar...,
ajari aku untuk merawat sampai bertumbuh dan berbuah...,
ajari aku menyiram benih ini dengan air kesabaran,
ajari aku memupuk dengan kasih sayang,
ajari aku membasmi hama cemburu dan dengki,
ajari aku bertahan terhadap guncangan badai,

ajari aku, ya Allah...,
agar aku tidak terlambat melihat benih ini berbuah.

Selasa, 01 April 2008

Karena Cinta adalah Rasa Jiwa


Adalah fitrah manusia ingin disayangi pun menyayangi. Betapa merana ketika seseorang kehilangan fitrah itu. Adalah suatu keniscayaan ketika seseeoarang mencintai dan menyayangi, ada sebuah kekuatan dahsyat yang mendorong ia untuk selalu termotivasi. Jiwa yang terluka akan terobati, hati menjadi terasa lebih hidup, fisik yang tengah sakit pun akan terasa sehat, yang lemah menjadi kuat, terasa segar karena tersiram air kasih sayang yang menyejukkan di tengah hiruk pikuk kehidupan. Kesedihan berganti dengan kegembiraan, riang dan bahagia. Ada semangat hidup yang membara, semangat persaudaraan semakin kuat, semangat belajar, bekerja dan berkarya, begitupun dalam ibadah. Cinta adalah energi yang tiada tara, saat ia bisa mendorong ia pun dapat menjerumuskan dan menjatuhkan diri pada kenistaan dan kekecewaan bertubi-tubi, bahkan menyisakan penderitaan yang panjang, yakni saat cinta diserahkan bukan pada Sang Maha Pencinta…

Hilangnya cinta dan kasih sayang menyebabkan diri merasa tak berguna, karena untuk apa dan untuk siapa ia hidup serta dengan maksud apa ia berkarya?! Ia merasa terhina karena tidak terangkat kemuliaannya dengan cinta kasih ALLAH, merasa tertekan karenanya,sehingga amarahnya lah pelampiasannya, memusuhi dan mendendam terhadap orang lain. Ada benteng keegoisan dalam dirinya. Karena keegoisannya itu ia tak mampu mencintai dan tak mudah dicintai sepenuh hati. Ketika kasih sayang tak dirawat pun adalah salah satu penghancur kasih sayang itu sendiri, perlahan namun pasti. Dan ketidaksabaran ia terhadap kekurangan saudaranya menyebabkan ia sulit bersabar sehingga ia hanya akan membuat dirinya dan sahabatnya itu merasa tak nyaman.

Jika Anda termasuk orang yang tengah kehilangan kasih sayang, atau ingin menguatkan kasih sayang atau Anda ingin menjalin kasih sayang. Berikut adalah tips untuk mengautkan kasih sayang:
1. Yakin terhadap janji dan jaminan ALLAH,
2. Lihat dengan sudut pandang positif,
3. Cari 1001 alasan untuk melihat persamaan dan ber-khusnuzhon,
4. Katakan perasaan yang Anda rasa dalam hati,
5. Lemah lembut dalam berprilaku
6. Meminta maaf dan memaafkan
7. Saling menghargai dan menghadiahi,
8. Bersilaturahim dengan segala cara,
9. Mendoakan dalam keheningan (tanpa diketahui siapapun, kecuali ALLAH), dan yakinilah dalam hati.


Bismillahirrohmanirrohim…bahwa ALLAH maha Rohman dan Maha Rohim..


Karena cinta adalah ekspresi rasa dalam jiwa…peliharalah ia dengan keimanan..


Allohumma innaa nas-aluka hubbaka, wa hubba man yuhibbuka, wa ‘amalalladzii yuballighunaa hubbuk..amin. (aal)