Jumat, 29 Januari 2010

Senandung Kehidupan


"Saya mungkin bukan penggemar lagu dangdut. Namun, 1 jam agaknya waktu yang terlalu sebentar buat saya untuk menikmatinya.

Suatu ketika, saya harus pulang walau larut malam. Sebenarnya, itu bukan saat yang tepat untuk pulang. Sebab, hari itu adalah hari yang menyebalkan dan menyedihkan. Nilai tes saya gagal, tidak ada kesempatan untuk mengikuti ujian lagi karena jadwal tes yang sama, dan beberapa hal lain yang membuat saya kesal. Memang, hari itu bukanlah hari terbaik buat saya.

Karena sudah terlalu larut, tak ada yang lagi kendaraan yang bisa mengantar saya ke rumah saudara yang letaknya agak jauh dari jalan. Tak ada ojek, apalagi angkot yang lewat. Lengkaplah sudah "penderitaan" ini. Lelah, kesal, dan perasaan marah, berkumpul pada saat itu. Saya lihat jam waktu itu sudah berada pada pukul 11 malam.

Ditengah perjalanan, di sela-sela gang, saya bertemu dengan orkes pengamen jalanan. Suasana riuh saat itu. Lewat lagu dangdut yang mereka senandungkan, ada banyak orang yang berjoget, menari, dan ikut bernyanyi bersama pengamen itu. Dengan hanya bermodal gerobak dorong yang diisi dengan perangkat suara sederhana, mereka tampak bergembira menikmati malam itu.

Saya berhenti, dan memperhatikan mereka. Duh, begitu senang dan bahagia. Saya lihat lagi tawa yang mereka lepaskan. Begitu bebas. Begitu kontras dengan suasana hati saya malam itu. Ketipung dan Tamborine yang mereka mainkan, melagukan senandung yang meriah. Ada beberapa pria yang berjoget, juga beberapa anak jalanan. Asyik dan seru.

Saya masih tetap terpaku, dan tersihir akan kebahagiaan yang mereka pancarkan. Saya lihat wajah-wajah lelah, namun bahagia, dalam gurat-gurat muka mereka. Ah, pastinya mereka adalah orang-orang kecil, yang bekerja keras di siang hari, dan sedang melepaskan lelah di malam ini. Saya tatap mata-mata mereka. Mata-mata yang bahagia, walau hanya mampu menonton orkes kampung, dan bukan konser di panggung gemerlap.

Tak ada spotlight dan efek kabut dalam pentas ini. Yang ada hanya cahaya bulan, dan asap rokok yang mereka hisap. Tak ada gitar elektris, dan piano yang berdenting. Yang ada hanya ketipung dan tamborine yang digoyangkan. Tak ada bintang-bintang top malam itu. Yang ada hanyalah kuli-kuli bangunan, pekerja kasar, tukang-tukang becak, dan anak jalanan. Namun, "orkestra" malam itu, terasa lebih indah.

Saya masih tersihir dan menikmati lagu-lagu dangdut yang mereka mainkan. Ah, wajah-wajah itu kembali tergelak tertawa. Bejoget, berputar, meliuk-liuk, dan bergoyang, memutari gerobak dorong itu. Duh, tangan-tangan itu kembali menari. Menjulang, mengalun, melambai seperti angin yang menghembus.

Tuhan, memang Maha Adil. Dia selalu datang dengan cara-cara yang tak terduga. Dia sedang menasehati saya dengan orang-orang kecil ini. Kebahagiaan yang mereka senandungkan, dapat meredam suasana hati saya malam itu. Lewat gendang ketipung dan kecrekan tamborine, mereka "membagikan" saya ketenangan agar terbebas dari rasa kesal ini.

Saya merasa iri dengan mereka, yang dapat berbahagia dengan apapun yang mereka miliki. Senandung, dan lagu-lagu kehidupan yang mereka lantunkan, adalah cerita tentang kebahagiaan yang tak pernah habis. Alunan bait-bait syair kehidupan yang mereka ucapkan, layaknya kisah tentang semangat pantang menyerah yang selalu mereka lakukan.

Tak terasa, sudah 1 jam berlalu, dan saya masih terpaku disana. Ah, mereka begitu jujur dan ikhlas menitipkan saya bahagia. Sambil diam-diam merasa iri dan cemburu dengan mereka, saya melangkah kembali pulang. Terima kasih kuli-kuli bangunan, tukang-tukang becak, anak-anak jalanan, ketipung, tamborine, gitar kayu, speaker tua, gerobak dorong, rembulan, dan bahagia-bahagia itu."

"Sekali lagi, terima kasih".

***

Sahabat, begitulah. Sikap dan perilaku yang kita lakukan, adalah layaknya senandung-senandung dalam hidup. Lantunan sifat yang kita perbuat, adalah layaknya suara-suara lagu yang mengalun. Ucapan dan pikiran-pikiran kita adalah seperti nada-nada yang sedang kita mainkan.

Namun, senandung macam apakah yang sedang kita lagukan? Adakah senandung-senandung marah dan kesal yang kita lontarkan? Lalu, lantunan lagu macam apa yang kita alunkan? Apakah lantunan dengki dan kesal? Nada-nada apakah yang sedang kita mainkan? Nada-nada sumbang, parau dan serak?

Adakah kita sedang melagukan "senandung-senandung" bahagia dan damai? Adakah, kita sedang melantunkan "lagu-lagu" ikhlas dan jujur? Atau, adakah kita sedang memainkan nada-nada indah sabar dan tawakal? Adakah itu semua dapat memberikan bahagia pada orang-orang di sekeliling kita?

Sahabat, lagu dan senandung kehidupan yang sedang kita dendangkan, adalah cermin bagi jiwa kita. Manakah yang Anda pilih? Senandung, alunan lagu, dan nada-nada damai dan nyaman? Ataukah senandung sumbang, alunan lagu benci dan dengki, atau nada-nada marah dan kesal?

Anda sendirilah yang akan menjadi komposer bagi semua itu. Padukanlah dengan indah.

Senin, 04 Januari 2010

RED CLIFF; FILM KOLOSAL PERERANGAN BESAR CHINA


Kaisar Xian adalah salah satu raja Dinasti Han di Cina pada tahun 208 M sebenarnya adalah raja boneka karena ia selalu dikuasai oleh perdana mentrinya yaitu Perdana Mentri Cao Cao. Suatu ketika Kaisar xian mematuhi saran Cao Cao untuk menyerang daerah di selatan yang dikuasai oleh Liu Bei dan Sun Quan.

Serangan awal ditujukan pada daerah yang dikuasai Liu Bei. Karena kalah dalam jumlah personil tentara, Pasukan Liu Bei kalah dan terpaksa mundur ke daerah selatan. Di daerah pelarian, Liu Bei dan para jendralnya menyusun siasat untuk pertempuran selanjutnya. Akhirnya salah satu jendral Liu Bei yaitu Jendral Zhu Ge Linag mendapat ide untuk berkoalisi dengan pasukan negara Sun Quan (Negara Wu).

Dengan susah payah akhirnya Zhu Ge Liang berhasil membujuk Sun Quan dan Jendral-Jendralnya untuk berkoalisi melawan pasukan Cao Cao. Bahkan adik perempuan Sun Quan yang bernama Sun Shang Xiang ikut bergabung dengan korps tentara wanitanya.
Akhirnya terjadilah pertempuran seru antara Pasukan Perdana Mentri Cao Cao dan Pasukan Koalisi Li Bei-Sun Quan.

Walaupun jumlah tentara pasukan koalisi Li Bei-Sun Quan sangat lebih sedikit dibanding tentara pasukan Cao Cao, tetapi dengan strategi jitu Angkatan Darat pasukan koalisi mampu mengalahkan angkatan darat Cao Cao. Tetapi meskipun Angkatan Darat Cao Cao sudah lumpuh, Perdana Mentri Cao Cao masih mempunyai Angkatan Laut.

Sun Shangxiang, adik perempuan Sun Quan, menyamar sebagai laki-laki dan menjadi mata-mata di antara pasukan Cao Cao. Film diawali dengan banyaknya tentara Cao Cao yang meninggal karena diserang wabah penyakit tipus. Shangxiang mengirimkan berita wabah ini melalui merpati pos. Tapi Sun Quan menolak menyerang Cao Cao, karena menurutnya tidaklah etis untuk menyerang saat tentara mereka sakit.

Cao Cao yang licik malah mengirimkan mayat-mayat tentaranya dengan menggunakan rakit ke wilayah Sun Quan. Akibatnya, tentara Sun Quan juga banyak yang terkena tipus. Liu Bei tidak tahan dengan semakin sedikitnya prajurit yang sehat. Menurutnya, mereka tidak akan menang. Karena itu, Liu Bei menghentikan persekutuan mereka, dan memutuskan untuk pulang kembali ke wilayah mereka. Tapi Zhuge Liang (ahli strategi Liu Bei) menolak untuk ikut pulang. Dia mau menyelesaikan apa yang sudah dimulainya.

Kemungkinan Sun Quan menang menjadi semakin kecil lagi. Tentara mereka hanya sekitar 30 ribu orang, dan harus melawan tentara Cao Cao yang 100 ribu. Apalagi persenjataan mereka semakin menipis. Mereka kehabisan panah.

Peperangan akhirlah yang akhirnya menentukan siapa yang menang. Secara umum film kolosal ini ditata dengan apik dan indah sehingga terlihat sangat nyata. Apalgi setting peperangan yang sangat menawan ditambah strategi yang memukau pada zamannya itu. Ditambah pesan moral dan penokohan yang luar biasa pada beberapa tokoh (terutama Zhuge Liang). Film ini (Red Cliff 1 dan Red Cliff 2) amat sayang bila dilewatkan.