Selasa, 18 Agustus 2009

Review Film: Merah Putih


Tahun 1947. Ketika agresi militer Belanda di wilayah Jawa Tengah, lima orang pemuda, dari suku berbeda di Tanah Air, dengan gagah berani menyatakan tekadnya untuk bertempur ke medan perang. Mereka pun memutuskan untuk mendaftarkan diri ke sekolah tentara rakyat di Jawa.

Amir (Lukman Sardi), Marius (Darius Sinarthya), Tomas (Doni Alamsyah), Soerono (Zumi Zola) dan Dayan (Teuku Rifnu Wikana), mereka datang dari latar belakang yang beragam. Namun, keinginan mereka sama: Mengusir kaum penjajah dari bumi pertiwi!

Kisah bergulir ketika kampung halaman Tomas di Manado, Sulawesi Utara, dibombardir pasukan Belanda. Tomas berduka. Tak satu pun keluarganya yang tersisa. Dendam pun berkecamuk di dada Tomas. Luka inilah yang menggiring Tomas memutuskan ke Jawa untuk bergabung menjadi tentara rakyat.

Lain Tomas, lain pula Amir. Ia seorang guru sebuah sekolah Islam di Jawa Tengah, yang berprilaku halus. Rasa nasionalismenya terpanggil ketika aksi Belanda kian menjadi. Pengabdiannya kepada Tanah Air didahulukannya, padahal sang istri, Melati (Astri Nurdin), tengah berbadan dua. Awalnya, Melati tak menyetujuinya. Namun, keinginan kuat Amir tak bisa dibendungnya. Niat Melati untuk mengabarkan soal kandungan pun terpaksa diurungkannya.

Tomas dan Amir akhirnya bergabung dengan tentara rakyat. Di sana, mereka juga bertemu kawan-kawan baru dengan latar belakang yang berbeda-beda. Ada Dayan, seorang Hindu asal Bali yang tangkas dengan keahliannya menggunakan pisau, namun tertutup soal masa lalunya di gang-gang kelam di Bali; Marius, anak seorang priyayi yang angkuh, tapi pengecut. Keinginannya bergabung dengan tentara rakyat lebih karena bentuk pembangkangannya terhadap sang ayah.

Satu lagi, Soerono. Dia sahabat Marius, anak pedagang kaya di Jawa, yang mencoba menyembunyikan rasa malu dari rahasia kelam yang dialaminya bersama kakak perempuannya, Senja (Rahayu Sarawati).

Berbagai perbedaan latar budaya, suku, kelas sosial, sampai agama inilah yang kemudian menyulut gesekan dan perselisihan di antara mereka. Terlebih antara Tomas dan Marius. Acungan jempol, pantas diberikan kepada keduanya, terlebih Darius. Ia berhasil memainkan karakternya sebagai pria yang menyebalkan.

Sutradara Yadi Sugandi menghadirkannya gesekan itu, begitu kentara. Proses kebersamaan di sekolah tentara rakyat membuka wajah mereka masing-masing. Namun sebuah peristiwa tragis justru membuat mereka mengesampingkan ego mereka.

Pasukan Belanda menyerang kamp mereka dan membunuh semua teman-teman kadet seangkatannya. Tanpa pemimpin mereka terpaksa berjuang sebagai gerilyawan di hutan di Jawa Tengah untuk melawan pasukan pimpinan Jenderal Van Mook.

Skenario yang ditulis Conor Allyn dan Rob Allyn, menghadirkan intrik-intrik dan berbagai persoalan dibungkus dengan halus tanpa ada kata-kata atau adegan yang bersinggungan pada konflik horizontal. Tak hanya itu, bumbu percintaan yang kerap memberi aroma lain dalam sebuah cerita film, juga dihadirkan dengan cukup elegan.

Merah Putih, film yang merupakan produksi bersama PT Media Desa milik Hashim Djojohadikusumo dan Margareth House, merupakan proyek ambisius. Film ini menjadi film pertama dari trilogi Kemerdekaan. Disebut-sebut, pihak produser telah menyiapkan anggaran sebesar 6 juta dolar AS untuk ketiga film tersebut.

Sebuah angka yang bisa jadi ada benarnya. Mengingat, selain melibatkan sejumlah sineas terbaik Indonesia saat ini, Merah Putih juga melibatkan sejumlah ahli perfilman internasional berpengalaman di Hollywood. Sebut saja Adam Howarth yang pernah menjadi kordinator special effect untuk film Saving Private Ryan, Blackhawk Down. Ada juga kordinator pemeran pengganti Rocky McDonald, yang sukses di film Mission Impossible II dan The Quiet American.

Allyn juga melibatkan ahli persenjataan John Bowring yang ikut serta di film Crocodile Dundee II, The Matrix, The Thin Red Line, Australia dan X-Men Origins:Wolverine.

Nah, di jajaran sineas Indonesia, ada Yadi Sugandi, Director of Photography (DOP) dari beberapa film-film fenomenal seperti Kuldesak, Laskar Pelangi, dan juga The Photograph. Hanya saja, di film ini, ia dipercaya menjadi sutradara, dengan harapan bisa membawa sensibilitas orang Indonesia yang sesungguhnya sekaligus keindahan visual yang menggugah untuk menceritakan kisah ini.

Ada juga Iri Supit, yang pernah menggarap penataan artistik untuk Ca Bau Kan, Biola Tak Berdawai, Gie, dan Long Road to Heaven; Sastha Sunu, sebagai editor dan Thoersi Argeswara, penata musik, yang pernah menggarap musik untuk Kuldesak, Pasir Berbisik, Bendera, Gie, Nagabonar Jadi 2 dan terakhir Bukan Cinta Biasa.

Tak sekedar mengangkat film dengan tema nasionalisme, Bob Allyn, salah satu produser eksekutif, juga mengaku ingin memberikan tontonan yang berbeda dengan menghadirkan sentuhan special effects kelas dunia. "Kami ingin membuat film saga berlatar sejarah dengan sentuhan Hollywood, mengombinasikan bakat-bakat terbaik yang dimiliki perfilman Indonesia yang sedang mekar dengan special effects kelas dunia," ujar Allyn. (diambil dari KompasEntertaiment)

Tidak ada komentar: