Siapa yang tidak mengenal nama Syaikh Siti Jenar? Dalam sejarah penyebaran Islam di Pulau Jawa, namanya sering kali muncul sebagai sosok antitesis dari Wali Songo. Ia kerap digambarkan sebagai wali "pembangkang", pemilik ajaran sesat, hingga mitos aneh bahwa ia berasal dari cacing.
Namun, benarkah demikian? Berdasarkan penelusuran sejarah yang lebih mendalam, seperti yang diungkap dalam buku Atlas Walisongo karya Agus Sunyoto, sosok yang juga dikenal sebagai Syaikh Lemah Abang ini memiliki latar belakang dan ajaran yang jauh lebih kompleks dan filosofis daripada sekadar cerita rakyat.
Mari kita telusuri kembali siapa sebenarnya Syaikh Siti Jenar dan mengapa ajarannya begitu membekas dalam batin masyarakat Jawa hingga hari ini.
1. Bukan Cacing, Melainkan Keturunan Bangsawan
Lupakan mitos bahwa ia berasal dari cacing. Syaikh Siti Jenar memiliki nama asli Syaikh Datuk Abdul Jalil. Ia dilahirkan di Malaka dan merupakan putra dari Syaikh Datuk Shaleh. Jika dirunut ke atas, silsilahnya bersambung hingga Rasulullah Saw. melalui jalur Fatimah dan Ali bin Abi Thalib.
Ia bukan orang asing bagi para Wali. Syaikh Siti Jenar adalah saudara sepupu dari Syaikh Datuk Kahfi (Syaikh Nurul Jati), guru dari Pangeran Cakrabuwana di Cirebon. Bahkan, beberapa sumber historiografi menyebutkan bahwa ia sebenarnya adalah anggota Wali Songo itu sendiri sebelum akhirnya dihukum mati.
2. Manunggaling Kawula-Gusti: Ajaran Cinta yang "Berbahaya"
Inti ajaran Syaikh Siti Jenar adalah Sasahidan atau yang lebih populer dikenal sebagai Manunggaling Kawula-Gusti (penyatuan hamba dengan Tuhan).
Dalam pandangannya, alam semesta ini diciptakan dari Dzat Allah. Oleh karena itu, segala sesuatu pada hakikatnya adalah Tuhan. Ia memandang kehidupan dunia ini fana, bahkan menyebut hidup di dunia sebagai "kematian", sedangkan kematian fisik adalah awal dari kehidupan sejati yang abadi.
Mengapa ajaran ini menjadi masalah?
Berbeda dengan wali lain yang mengajarkan makrifat (ilmu ketuhanan tingkat tinggi) secara tertutup kepada murid terpilih, Syaikh Siti Jenar mengajarkannya secara vulgar dan terbuka kepada masyarakat awam. Kalimat seperti "Iya ingsun iki Allah" (Aku ini Allah)—yang merujuk pada kesatuan wujud—dianggap dapat menyesatkan orang yang belum cukup ilmunya dan mengguncang tatanan syariat yang sedang dibangun Kesultanan Demak.
3. Eksekusi di Masjid Sang Cipta Rasa
Puncak konflik antara Syaikh Siti Jenar dan Dewan Wali Songo berakhir tragis. Dianggap membahayakan akidah umat dan stabilitas negara Demak, ia dijatuhi hukuman mati.
Eksekusi dilakukan di Masjid Sang Cipta Rasa, Cirebon, pada tahun 1505 M. Sunan Kudus bertindak sebagai eksekutor menggunakan keris pusaka Kantanaga milik Sunan Gunung Jati.
Sejarah kemudian mencatat berbagai versi tentang kematiannya, termasuk cerita mayatnya yang berubah menjadi anjing. Namun, Atlas Walisongo mencatat bahwa cerita-cerita tersebut kemungkinan besar adalah upaya politis untuk mendiskreditkan pengaruh ajarannya di mata masyarakat. Jenazahnya dimakamkan secara layak di mandala Anggaraksa, Cirebon.
4. Warisan dalam Kejawen Modern
Meskipun raganya mati, ajarannya tidak pernah benar-benar hilang. Justru, ajaran Syaikh Siti Jenar berakulturasi dengan kuat ke dalam budaya Jawa.
Murid-muridnya, seperti Ki Ageng Pengging dan Ki Lebe Lontang, serta penerus spiritual seperti Sunan Kalijaga (melalui Tarekat Akmaliyah), melestarikan esensi ajaran ini. Pertemuan antara sufisme Siti Jenar dengan tradisi lokal (Kapitayan dan Hindu-Buddha) inilah yang kemudian menjadi fondasi spiritualitas atau Kejawen yang kita kenal sekarang.
Konsep bahwa Tuhan tidak jauh di langit, melainkan "lebih dekat dari urat leher" dan menyatu dalam diri, masih menjadi pegangan banyak penghayat kepercayaan di Nusantara.
Syaikh Siti Jenar mengajarkan kita bahwa pencarian Tuhan adalah perjalanan ke dalam diri yang paling sunyi. Terlepas dari kontroversinya, ia tetaplah bagian tak terpisahkan dari sejarah Islam di Nusantara—sebuah bukti betapa dinamisnya dialektika agama dan budaya di Tanah Jawa.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar