Kamis, 03 Desember 2015

MENGAJARKAN NILAI TOLERANSI PADA ANAK USIA DINI*



Setiap manusia terlahir berbeda. Manusia lahir dengan kekhasan dan perbedaannya masing-masing. Perbedaan manusia bisa terjadi secara fisik, tempat lahir, dan karakter. Perbedaan-perbedaan tadi akhirnya menimbulkan adanya perbedaan pandangan dan pola berpikir yang terjadi dalam keseharian manusia dalam beraktivitas, baik itu di sisi sosial, budaya dan agama. Perbedaan yang terjadi tadi perlu disadari oleh manusia yang hidup agar mereka bisa bertoleransi dan hidup dengan rukun di masyarakat.

Secara etimologi, toleransi adalah istilah dalam konteks social, budaya dan agama yang berarti sikap perbuatan yang melarang adanya diskrimiasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas daam suatu masyarakat. Contohnya toleransi beragama menurut Perez Zagorin dalam bukunya How the Idea of Religious Toleration Came to the West mengatakan bahwa toleransi  adalah dimana penganut mayoritas dalam suatu masyarakat menghormati keberadaan agama atau kepercayaan lainnya yang berbeda. Namun dalam kenyataannya, toleransi bukan hanya terjadi dalam kehidupan beragama saja. Toleransi adalah kondisi saling memahami dan menghormati antara manusia yang satu dan yang lain untuk banyak hal. Bukan hanya yang bersifat keyakinan namun juga hal yang terkadang remeh, bahkan tak penting.

Dalam ranah pendidikan anak usia dini, toleransi muncul untuk hal yang lebih ringan dalam keseharian anak. Toleransi muncul dari hal yang berbau fisik, sikap, cara dan hal lainnya yang terkadang tidak terpikirkan oleh orang dewasa. Anak-anak di TK kami terkadang mempermasalahkan temannya yang berrambut keriting, merasa aneh ketika melihat temannya ada yang bersikap berbeda dari dirinya di kelas, mengadukan temannya yang ketika bermain terlalu berani, bahkan merasa risih melihat ada temannya yang dari hidungnya mengalir ingus. Beragam perbedaan tadi perlu disikapi dengan baik oleh guru agar dapat mengarahkan siswa supaya memahami bahwa setiap individu berbeda.

Kami mengajak anak-anak memahami toleransi dalam masyarakat melalui hal-hal kecil, rutin dan (bahkan terlihat) sepele yang dilakukan di sekolah, misalnya dengan mengajak mereka mengenal diri sendiri dan mendefinisikan diri mereka sendiri di depan kelas, sehingga mereka menyadari bahwa setiap individu terlahir berbeda. Untuk memperkenalkan anak-anak pada hal yang lebih substantif seperti perbedaan karakter pada individu, kami mengajak mereka bermain bersama, role play (bermain peran), bahkan membiasakan anak-anak untuk mengingatkan temannya jika ada yang melanggar aturan. Selain dengan kegiatan rutin, kami juga memasukan muatan toleransi dalam bagian tematik pembelajaran yang didalamnya kami mensisipkan pembangunan karakter di dalamnya.

Kami juga mendidik anak agar memahami adanya konsekuensi social yang dapat timbul ketika mereka tidak bisa menjalankan aturan-aturan dengan baik, misalnya ketika ada siswa yang tidak mau antri ketika mencuci tangan maka guru akan memisahkan anak tersebut ketika makan bersama. Toleransi merupakan bekal anak-anak agar bisa survive di dalam masyarakat ketika mereka dewasa nanti. Maka sejak usia dini, kita harus membiasakan toleransi kepada mereka agar mereka siap menghadapi beragam karakter dan pemikiran yang ada di masyarakat nanti ketika mereka menjadi pemimpin negeri ini.

*Artikel juara 1 pelatihan menulis artikel yang dilaksanakan harian Kompas

Tidak ada komentar: