Rabu, 29 Oktober 2025

Pramuka: Warisan Nilai, Pilar Masa Depan

Di tengah derasnya arus digitalisasi dan perubahan sosial, ada satu gerakan yang tetap relevan, membumi, dan penuh makna: Gerakan Pramuka. Lebih dari sekadar seragam cokelat dan barisan upacara, Pramuka adalah ruang pembentukan karakter, kepemimpinan, dan cinta tanah air yang tak lekang oleh waktu.

Gerakan Pramuka Indonesia lahir secara resmi pada 14 Agustus 1961, namun akarnya jauh lebih dalam. Ia berakar dari gerakan kepanduan dunia yang dipelopori oleh Lord Baden-Powell di Inggris pada awal abad ke-20. Di Indonesia, semangat kepanduan telah tumbuh sejak masa pergerakan nasional, menjadi wadah pembinaan generasi muda yang cinta bangsa dan siap berbakti. Presiden Soekarno menyatukan berbagai organisasi kepanduan menjadi satu gerakan nasional: Gerakan Pramuka. Sejak saat itu, Pramuka menjadi bagian integral dari pendidikan karakter di Indonesia.

Mengapa Pramuka tetap penting di era sekarang? Karena ia menjawab kebutuhan mendasar anak-anak dan remaja: menjadi pribadi tangguh, peduli, dan mandiri. Anak belajar disiplin, tanggung jawab, dan kepemimpinan melalui kegiatan nyata, bukan sekadar teori. Dari mendirikan tenda hingga menolong sesama, Pramuka melatih keterampilan praktis yang berguna seumur hidup. Dalam regu, anak belajar bekerja sama, menghargai perbedaan, dan membangun solidaritas. Kegiatan di alam terbuka menumbuhkan kecintaan pada lingkungan dan kesadaran akan pentingnya menjaga bumi. Di tengah dominasi gadget, Pramuka menawarkan ruang interaksi nyata yang sehat dan membangun.

Bagi sekolah, khususnya sekolah swasta yang ingin membentuk lulusan berkarakter unggul, bergabung dalam Gerakan Pramuka bukan sekadar pilihan, tapi kebutuhan strategis. Pramuka secara langsung mendukung penguatan nilai-nilai Pancasila, gotong royong, dan kemandirian dalam Kurikulum Merdeka. Sekolah yang aktif dalam Pramuka menunjukkan komitmen pada pendidikan karakter dan kepemimpinan, nilai tambah di mata orang tua dan masyarakat. Melalui kegiatan Pramuka, sekolah terhubung dengan komunitas lokal, nasional, bahkan internasional. Pramuka menjadikan nilai-nilai dalam kurikulum sebagai pengalaman nyata, bukan sekadar hafalan. Anak-anak yang dibina dalam Pramuka tumbuh menjadi warga yang peduli, tangguh, dan siap berkontribusi.

Gerakan Pramuka bukan milik masa lalu. Ia adalah jembatan menuju masa depan yang lebih berkarakter, lebih tangguh, dan lebih bersatu. Mari jadikan sekolah kita bukan hanya tempat belajar, tapi tempat tumbuhnya pemimpin masa depan—melalui Pramuka.

Minggu, 19 Oktober 2025

Refleksi Seorang Pendidik

Di sekolah, kami percaya: tidak ada anak nakal. Yang ada, orang tua dan guru yang belum tahu cara mendidik dengan tepat.

Setiap hari kami menyambut anak-anak TK yang datang dengan wajah ceria. Ada yang aktif, pendiam, penuh rasa ingin tahu, atau sangat peduli pada temannya. Semua berbeda, tergantung pola asuh di rumah.

Anak-anak adalah cermin. Mereka meniru apa yang mereka lihat dan dengar. Di sekolah maupun di rumah, mereka merekam segalanya—termasuk adab dan sikap kita. Maka guru dan orang tua harus berhati-hati, karena anak-anak belajar dari contoh, bukan hanya dari kata-kata.

Kami berusaha menanamkan adab sejak dini. Di TK, anak-anak mengucapkan janji setiap pagi: “Guru dipatuhi, orang tua dihormati.” Karena guru bukan sekadar pengajar, tapi teladan.

Sayangnya, seiring bertambah usia, rasa ingin tahu anak-anak mulai hilang. Bukan karena mereka sudah tahu jawabannya, tapi karena tak ada yang bisa menjawab, atau mereka tak lagi merasa aman untuk bertanya. Di pengajian, di kuliah, pertanyaan makin sedikit. Padahal dulu, pertanyaan mereka luar biasa.

Pendidikan bukan hanya soal ilmu, tapi juga adab. Guru harus belajar sebelum mengajar, dan memperbaiki diri sebelum menuntut murid berubah. Karena anak-anak adalah mesin fotokopi super canggih—mereka meniru semua yang kita lakukan.

Setiap fase usia anak butuh pendekatan berbeda. SD adalah masa tanam nilai. SMP adalah masa diskusi. SMA adalah masa kemandirian dan pencarian identitas. Jika kita salah mendidik di awal, dampaknya bisa panjang.

Berita viral tentang perilaku anak SMA bukan hal sepele. Itu tamparan bagi dunia pendidikan. Kita perlu introspeksi: sudah benarkah cara kita mendidik? Sudahkah guru, orang tua, dan sistem pendidikan berjalan searah?

Dan ketika kita melihat para santri yang syahid dalam keadaan sholat dan puasa, kita tahu: pendidikan yang benar akan membentuk jiwa yang kuat. Bahkan dalam sakit dan reruntuhan, mereka tetap menjaga sholat dan membaca Al-Mulk. Itu buah dari pendidikan yang benar.

Mari kita renungkan kembali: tujuan pendidikan nasional adalah membentuk manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, sehat, cakap, kreatif, mandiri, dan bertanggung jawab. Sudahkah kita menuju ke sana?

Jumat, 17 Oktober 2025

Pesantren, Media, dan Tantangan Zaman

Sebagai seorang Muslim Indonesia yang mencintai nilai-nilai keadaban dan kebangsaan, saya merasa perlu menyampaikan kegelisahan sekaligus harapan atas polemik yang baru-baru ini mencuat—yakni tayangan program Xpose Uncensored di Trans7 yang menyinggung kehidupan santri dan kiai di Pondok Pesantren Lirboyo.

Dalam tayangan tersebut, narasi yang menyebut santri “rela ngesot” untuk memberikan amplop kepada kiai dianggap merendahkan martabat pesantren dan menampilkan relasi santri-kiai secara tidak proporsional. Tak heran jika banyak pihak, termasuk tokoh-tokoh agama, mengecam isi tayangan tersebut dan menyerukan evaluasi mendalam terhadap etika media.

Namun di balik kontroversi ini, saya justru melihat peluang untuk refleksi bersama. Bahwa pesantren, sebagai institusi pendidikan Islam yang telah berjasa besar dalam mencerdaskan umat dan menjaga moral bangsa, juga perlu terus berbenah. Bukan dalam arti meninggalkan tradisi, tetapi menyegarkan cara pandang dan pendekatan agar lebih terbuka, partisipatif, dan relevan dengan tantangan zaman.

Kritik, jika disampaikan dengan cara yang santun dan membangun, bisa menjadi bahan muhasabah. Tapi media juga punya tanggung jawab moral untuk tidak menyederhanakan atau menstigmatisasi tradisi yang kompleks. Kita butuh narasi yang adil, bukan sensasional.

Saya percaya banyak pesantren hari ini yang sudah mulai membuka diri terhadap transformasi. Mereka mengintegrasikan literasi digital, kepemimpinan sosial, bahkan pendidikan kewargaan dalam kurikulum mereka. Ini adalah langkah penting agar pesantren tetap menjadi ruang tumbuhnya generasi yang beriman, berilmu, dan berdaya.

Mari kita jaga keteduhan ruang publik. Jangan sampai perbedaan persepsi justru memperlebar jurang. Media, pesantren, dan masyarakat luas harus saling menguatkan demi masa depan bangsa yang lebih cerdas dan beradab.


 

Selasa, 07 Oktober 2025

Mengapa Kita Menusuk Mereka yang Membela Kita?

Ketika Che Guevara tertangkap di persembunyiannya, setelah dilaporkan oleh seorang gembala, seseorang bertanya kepada sang pelapor, “Mengapa kau menyerahkan orang yang sepanjang hidupnya memperjuangkan hak-hak kalian?” Jawaban sang gembala sederhana namun menyayat: “Perangnya membuat dombaku ketakutan.”

Di Mesir, kisah serupa terjadi. Muhammad Karim, pemimpin perlawanan terhadap pasukan Prancis yang dipimpin Napoleon, akhirnya ditangkap dan dijatuhi hukuman mati. Namun Napoleon, kagum akan keberaniannya, berkata: “Aku menyesal harus mengeksekusi seorang patriot. Aku tak ingin sejarah mencatat bahwa aku membunuh seorang pahlawan.”

Napoleon pun menawarkan pengampunan, dengan syarat: Karim harus membayar sepuluh ribu keping emas sebagai kompensasi atas tentara Prancis yang gugur. Karim menjawab, “Aku tak punya uang sebanyak itu, tapi aku memiliki piutang dari para pedagang lebih dari seratus ribu keping emas.”

Napoleon memberinya waktu untuk menagih. Karim pun dibawa ke pasar, dirantai dan dikawal tentara penjajah, berharap rakyatnya akan menolong. Tapi tak satu pun pedagang membantunya. Mereka justru menyalahkannya atas kehancuran Alexandria dan kemerosotan ekonomi.

Karim kembali kepada Napoleon dengan hati yang remuk. Napoleon berkata: “Aku tak punya pilihan selain mengeksekusimu — bukan karena kau melawan kami, tapi karena kau rela mati demi orang-orang yang lebih mencintai dagangannya daripada kemerdekaan negerinya.”

Muhammad Rasyid Ridha pernah berkata: “Berjuang demi masyarakat yang bodoh ibarat membakar diri untuk menerangi jalan bagi orang buta.”

Dan memang benar — jangan korbankan hidupmu demi mereka yang tak berani berdiri.

Lihatlah keadaan kita kini: kita tinggalkan pemimpin yang adil, kita khianati mereka yang menegakkan kebenaran, lalu kita angkat penguasa yang tak takut kepada Allah, tak menjunjung keadilan, dan tunduk kepada musuh yang membunuh saudara-saudara kita serta merampas tanah kita.

Kita abaikan para pejuang yang memperbaiki dan menolak penjajahan, tapi kita puja mereka yang berkompromi dan menjual kehormatan bangsa.