
Dalam tayangan tersebut, narasi yang menyebut santri
“rela ngesot” untuk memberikan amplop kepada kiai dianggap merendahkan martabat
pesantren dan menampilkan relasi santri-kiai secara tidak proporsional. Tak
heran jika banyak pihak, termasuk tokoh-tokoh agama, mengecam isi tayangan
tersebut dan menyerukan evaluasi mendalam terhadap etika media.
Namun di balik kontroversi ini, saya justru melihat
peluang untuk refleksi bersama. Bahwa pesantren, sebagai institusi pendidikan
Islam yang telah berjasa besar dalam mencerdaskan umat dan menjaga moral
bangsa, juga perlu terus berbenah. Bukan dalam arti meninggalkan tradisi,
tetapi menyegarkan cara pandang dan pendekatan agar lebih terbuka,
partisipatif, dan relevan dengan tantangan zaman.
Kritik, jika disampaikan dengan cara yang santun dan
membangun, bisa menjadi bahan muhasabah. Tapi media juga punya tanggung jawab
moral untuk tidak menyederhanakan atau menstigmatisasi tradisi yang kompleks.
Kita butuh narasi yang adil, bukan sensasional.
Saya percaya banyak pesantren hari ini yang sudah mulai
membuka diri terhadap transformasi. Mereka mengintegrasikan literasi digital,
kepemimpinan sosial, bahkan pendidikan kewargaan dalam kurikulum mereka. Ini
adalah langkah penting agar pesantren tetap menjadi ruang tumbuhnya generasi
yang beriman, berilmu, dan berdaya.
Mari kita jaga keteduhan ruang publik. Jangan sampai
perbedaan persepsi justru memperlebar jurang. Media, pesantren, dan masyarakat
luas harus saling menguatkan demi masa depan bangsa yang lebih cerdas dan
beradab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar