Senin, 15 Februari 2010

Belajar Untuk Menjadi...


Dalam miniatur kehidupan yang natural dan riil seperti itu, anak-anak benar-benar dipandang sebagai manusia seutuhnya. Bukan sekedar robot cerdas - yang harus dijejali dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan - di mana jam-jam belajar merupakan saat-saat "pengisian" yang mengerikan. Ledakan informasi di abad ini barangkali membuat banyak orang panik. Sementara kehidupan yang telah berubah menjadi medan kompetisi yang kejam mendorong mereka berpikir, bahwa untuk bisa bertahan hidup anda harus mengetahui segalanya.

Begitulah sekolah-sekolah kita didirikan sebagai tempat menjajakan "barang-barang" yang bernama ilmu pengetahuan, yang harus "dimiliki" setiap orang agar bisa bertahan hidup. Maka kita mengagumi "kecerdasan". Karena itulah mata uang paling bergengsi yang digunakan membeli "barang-barang" tersebut. Dan belajar adalah proses transaksinya.

Di sekolah seperti itu anak-anak belajar "menguasai" pelajaran. Bukan menjadi sesuatu dengan pelajaran tersebut. Makin banyak pelajaran yang dapat mereka kuasai, makin baik transaksi mereka. Maka kita seolah-seolah berburu anak-anak cerdas, yang dapat melakukan banyak transaksi.

Tapi yang kemudian kita saksikan justru sebuah ironi. Anak-anak itu tidak mengalami transformasi pembelajaran. Pelajaran matematika, misalnya, tidak serta merta membuat mereka dapat berpikir logis. Pelajaran sejarah tidak memberi mereka kesadaran dan emosi akan identitas kolektif. Pelajaran bahasa bahkan tidak membantu mereka berbahasa dengan baik dalam kehidupan sehari-hari.(dikutip dari millist sebelah)

Tidak ada komentar: